Curiga

1371 Words
Tidak ingin berspekulasi dan berpikiran buruk, Rosie akhirnya menyimpan foto itu kembali dan memilih duduk di sofa, membaca majalah sambil menunggu Alan. Rosie memutuskan untuk menyelidikinya terlebih dulu sebelum menentukan tindakan. Sejujurnya, hati Rosie patah. Ibu mertuanya yang terlihat baik justru ingin menghabisi nyawanya. Kini, suaminya yang penyayang dan setia sepertinya menyimpan sesuatu di balik punggungnya. Apa mungkin Tuhan sebercanda itu dengannya? Rosie menghela nafas. Dia memijat pelipisnya yang berdenyut. Tiba-tiba, pintu terbuka. Rosie mendongak dan melihat suaminya datang dengan terburu-buru. “Sayang…” Alan tersenyum lebar, mendekati Rosie, dan duduk di sampingnya. Wajahnya sedikit pucat dan nafasnya tidak beraturan. Dia seperti baru saja berlari, tapi apa yang membuatnya datang tergopoh-gopoh? Rosie memperhatikan Alan dengan seksama. Keningnya sedikit mengernyit, tapi dia tidak bisa menyimpulkan apapun. “Apa yang membawamu kemari? Tumben sekali. Ada apa?” Alan berusaha bersikap tenang di sela-sela nafasnya yang kembang kempis. “Tidak ada apa-apa. Hanya ingin datang karena kamu akan lembur. Aku juga sudah lama tidak kemari. Kantormu berubah.” Rosie mengalihkan wajahnya sesaat sebelum kembali menatap suaminya. “Iya, setelah beberapa saat aku merasa perlu sedikit perubahan agar tetap semangat.” Alan menyandarkan punggungnya, tampak lebih santai. “Apa kamu menyukainya?” “Tidak masalah, ini cukup bagus. Oh iya, aku membawa bekal untukmu.” Rosie menunjuk sebuah tas di atas meja. “Oh iya? Apa itu?” Alan tersenyum lebar, lalu membuka tas itu. Aroma semerbak tercium, wangi dan menggoda selera. “Baunya harum.” Alan tampak tidak sabar. Dia segera menata menu-menu itu di atas meja. “Sayang, terima kasih.” Alan mencuri satu ciuman di pipi Rosie membuat es di hatinya mencair. “Sudah, cepat makan!” Alan makan dengan lahap. Wajahnya tampak puas. “Ini sangat enak.” “Aku akan meminta dapur untuk lebih sering membuatnya.” Tidak lama kemudian, semua isi bekal sudah habis. “Sayang, aku kekenyangan. Kamu harus bertanggung jawab kalau timbanganku naik.” Rosie terkekeh. Tepat pada saat itu, pintu Alan diketuk. “Masuk!” Sekretaris Alan, Hendi, masuk sambil membawa kue dan teh jahe. Setelah meletakkannya di atas meja, dia berkata kepada Alan, “Tuan, mohon maaf. Bolehkah saya pulang lebih cepat? Kebetulan hari ini saatnya istri saya kontrol.” “Oh, sudah waktunya kontrol lagi?” “Iya, Tuan.” “Ya, ya, pulang cepat kalau pekerjaanmu selesai. Jangan menungguku! Utamakan istrimu.” Hendi tidak bisa menyembunyikan senyuman lebarnya. “Terima kasih banyak, Tuan.” Setelah itu, Hendi keluar dengan cepat. “Istrinya kenapa?” tanya Rosie. “Sedang hamil. Baru beberapa minggu,” jawab Alan sambil tersenyum tipis, teringat dengan kehamilan Kaila yang juga membuatnya bahagia. Mata Rosie menyipit. Apa foto USG itu milik Hendi? Sebenarnya, yang membuat Rosie berpikiran buruk adalah tempat akan menyimpan foto itu. Berada di belakang foto mereka berdua, tertutup sempurna, sangat tersembunyi, membuat pikiran siapapun akan berkelana. “Aku masih ada rapat sepuluh menit lagi. Apakah kamu akan terus di sini menungguku selesai?” Pertanyaan Alan menarik perhatian Rosie. Dia menggeleng. “Tidak, aku pulang saja,” jawabnya, lalu dengan dibantu Alan, dia membereskan kotak bekal. “Terima kasih ya. Harusnya kamu tidak perlu repot. Tapi, aku suka.” “Tidak masalah selama kamu suka.” Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, Rosie pun pamit. “Aku akan pulang secepatnya,” ucap Alan saat mengantarkan Rosie ke lift. “Hmm, aku akan menunggu.” Saat lift terbuka, Rosie masuk. Alan sempat melambaikan tangannya sebelum pintu lift tertutup. Setelah yakin nomor di atas pintu lift berubah, Alan merasa bebannya terangkat. Dia menghela nafas lega. Tangannya terangkat mengusap keringat di pelipisnya. “Hampir saja,” gumamnya. Pria itu berbalik, lalu berjalan kembali ke ruangannya sambil mengeluarkan ponsel. “Halo, Kai. Iya, sudah pulang. Untung saja tadi aku menemuimu di bawah. Kalau tidak, dia bisa melihat semuanya. Foto? Aku sudah menyimpannya di tempat yang aman. Kamu jangan khawatir. Iya, satu bulan lagi kita menikah. Jangan khawatir, aku janji. Iya, I love you too.” Alan baru saja menyimpan ponselnya dan menutup ruangannya saat tiba-tiba pintu itu dibuka begitu saja. “Apa yang…!!!” Alan hampir saja menyemprot siapa saja yang berani membuka ruangannya, tapi semua kalimat itu dia telan kembali saat melihat sosok di depannya. “Pak,, Pak Dylan? Mari silakan duduk, Pak!” Dylan memang kakak ipar Alan, tapi di kantor, tidak mungkin dia memanggilnya Kak. Alan bergegas mempersilakan pemilik perusahaan sekaligus kakak iparnya duduk dengan nyaman di sofa. Dylan sedikit mengangguk. Dia memperhatikan meja. “Sepertinya, Pak Alan baru saja menikmati kudapan sore.” Alan tersenyum tipis. “Iya, Rosie membawakan bekal. Dia baru saja kembali.” Dylan kembali mengangguk. Suasana terasa tegang dan atmosfer memberat. Alan memilih untuk mengambilkan air elektrolit botol yang biasa dia simpan di kulkas mini di pojok ruangan. Alan menyuguhkannya kepada Dylan. Tatapan mereka bertemu. Tanpa sadar, Alan mengusap tengkuknya. “Bagaimana kabar Rosie?” tanya Dylan sambil membuka tutup botol dan meneguk isinya. “Dia,,,,, kondisinya masih sama.” Ada nada getir dalam kalimatnya. “Apa yang sudah kamu lakukan untuk kesembuhannya?” Dengan anggun, Dylan meletakkan botol kembali. Gerakannya pelan dan presisi, tapi mampu membuat Alan menelan ludahnya. “Saya,,, saya,,, dia sudah berobat di rumah sakit terkenal.” “Maksudmu dengan memaksanya untuk ikhlas diduakan?” “Tidak!” Alan menggeleng keras. “Tidak begitu. Dia sendiri yang ingin aku menikah lagi. Tidak ada paksaan.” “Tapi kamu menikmatinya.” Tatapan Dylan menajam. Sungguh, dia tidak rela adiknya menjalani pernikahan poligami. “Kak Dylan,, Pak. Tidak seperti itu. Ini…” Alan mengambil nafas panjang, tidak tahu harus mengatakan apa. “Dengar, aku sudah mencoba untuk bernegosiasi dengan Rosie. Aku juga sudah menolak. Tapi, calon yang akan aku nikahi adalah teman Rosie sendiri. Adikmu sendiri yang memilihkan istri. Dia membuat rencana agar aku bisa berduaan dengan Kaila. Kalau seandainya kamu keberatan, sebaiknya kamu bicara ke Rosie. Ini semua rencana dia.” Dylan hanya diam. Matanya menatap lurus ke arah Alan. Beberapa saat kemudian, dia berdiri, merapikan jasnya, lalu berkata, “Aku hanya memiliki Rosie. Siapapun yang ingin membuatnya menangis apalagi sengsara, aku tidak akan melepaskannya.” Setelah mengatakan apa yang harus dia katakan, Dylan keluar. Alan tiba-tiba merasa bisa bernafas lagi. Dia meraup oksigen sebanyak yang dia bisa. Tangannya memegangi dadanya yang berdegup kencang. Apa mungkin Dylan menyadari sesuatu? Sepertinya tidak. Dia sudah menyembunyikan semuanya dengan rapi. Dylan pasti hanya terkejut karena adiknya akan diduakan. Ya, pasti hanya itu. Alan merogoh sakunya untuk mengambil ponsel, menekan nomor satu dan ponselnya terhubung ke nomor darurat. “Sayang, bagaimana? Apa istrimu tadi melihatku?” Di seberang sana, terdengar suara Kaila yang manja namun terdengar sedih. “Tidak, kamu tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Dia tidak menyadarinya.” “Memangnya dia mau apa ke kantormu? Bukannya istirahat di rumah malah kelayapan. Bagaimana sih? Istri kok tidak bisa jaga diri. Bagaimana bisa jaga suami?” “Kai! Jangan berkata seperti itu. Dia tetap istriku. Kamu tidak berhak menghakiminya!” “Iya, maaf. Aku hanya khawatir. Jangan marah ya. Untung saja tadi aku tidak jadi menemuimu di atas. Kalau tidak, semuanya bisa terbongkar.” “Hmm, mungkin sebaiknya untuk, sementara ini, kita membatasi diri.” “Apa maksudmu?” “Ya, jangan sering-sering ketemu dulu. Aku takut dia curiga. Lagi pula, Rosie sudah setuju pernikahan kita akan diadakan bulan depan.” “Tapi, sayang, aku bisa mati karena rindu kalau tidak ketemu kamu.” “Kai, ini demi kebahagiaan kita berdua. Kamu tahu, ‘kan?” “Entahlah, aku takut kamu semakin mencintainya.” “Itu tidak mungkin! Dia memang istriku, tapi perasaanku tidak sedalam itu.” “Baik, aku tidak akan datang lagi ke kantormu. Tapi plis, jangan membuatku rindu sampai bulan depan. Ini sangat menyiksa, Sayang.” “Oke, akhir pekan aku akan memikirkan cara untuk datang ke apartemen.” “Terima kasih! Aku memang tidak salah memilih kamu daripada mantan suami b******k itu. Aku tidak menyesal. I love you.” Kedua sudut bibir Alan terangkat sempurna. Egonya membumbung tinggi di angkasa mendapat sanjungan dari Kaila. “Baiklah, sekarang kamu istirahat saja dulu. Jangan kecapekan. Kasihan anak kita.” “Hmm, aku akan beristirahat agar akhir pekan bisa menemanimu sampai puas.” Gambar-gambar tidak senonoh muncul dalam benak Alan. Jakunnya bergulir cepat. “Pakai yang warna hitam ya.” “Aku tahu maumu, Sayang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD