Dua Foto

1326 Words
Rosie merasakan tubuhnya semakin bertenaga dan tidak mudah lelah. Rasa gatal di tenggorokannya mereda. Dan frekuensi batuk jauh berkurang. Padahal dia baru satu kali perawatan. Jika dia melakukannya secara rutin, hasilnya bisa ditebak. Suasana di dalam perpustakaan itu tampak lebih hangat. Wajah Rosie dipenuhi senyuman. “Suasana hati Anda tampaknya sangat baik,” ujar Mita yang sejak tadi memperhatikan majikannya. Tangannya bergerak membersihkan tanaman dalam pot yang mulai layu. Rosie semakin tersenyum lebar. “Apakah sangat terlihat?” Dia bahkan menyentuh pipinya. Mita mengangguk dengan cepat. “Tentu. Wajah anda tampak lebih bersinar. Bukan berarti kemarin Anda jelek, bukan! Hanya saja wajah Anda tampak lebih berseri-seri.” “Mulutmu sangat lincah.” Rosie tertawa. Dia tidak bisa menutupi bahagianya. Melihat Mita menyingkirkan tanaman-tanaman itu dan menggantinya dengan yang baru, Rosie pun bertanya, “Apa ibu mertuaku baru saja mengirim tonik?” “Iya, Nyonya. Kemarin, dia membawa tiga botol.” Satu alis Rosie terangkat. “Tiga?” Ini agak di luar kebiasaan. Biasanya, Hilda hanya membawakan satu botol setiap minggu. Sekarang, sudah berubah menjadi tiga botol. Dengan total lima botol disiramkan ke tanaman dan kondisinya yang mengering, Rosie jadi semakin mengerti kenapa kondisinya tidak kunjung membaik. Tonik ini memang beracun. ‘Apa dia sudah tidak sabar untuk menyingkirkan aku?’ Beruntung, dia mengetahuinya. Jika tidak, dia tidak yakin bisa bertahan sampai akhir tahun. “Besok, kamu bisa membuangnya di selokan. Kasihan tanaman itu harus mati karena ulah mertua yang kejam.” “Baik, Nyonya.” Dengan cekatan, Mita membersihkan dan merapikan tanaman dan menatanya kembali. Karena suasana hatinya yang sedang baik, Rosie tidak terlalu memikirkan Hilda. “Kerjamu bagus. Ingatkan aku untuk memberimu bonus akhir bulan nanti.” “Terima kasih banyak, Nyonya.” Mita menunduk penuh hormat. Wajahnya tampak bahagia. “Hmm.” Rosie mengangguk puas “Bagaimana kabar dapur?” tanya Rosie tiba-tiba. Mary sudah dia singkirkan. Sudah waktunya bagian dapur juga disterilkan. Dan orang yang bisa leluasa di dapur adalah Mita. Mita tersenyum tipis. “Saya sudah melakukan apa yang anda suruh.” “Lalu?” “Saya belum menemukan apapun.” Mita menunduk. “Tidak apa-apa. Kamu sudah berusaha. Terus cari!” “Baik, Nyonya.” Rosie kembali fokus dengan buku yang dia pegang. Namun, dia dikejutkan dengan getaran ponselnya. Itu adalah pesan dari Alan yang mengatakan kalau dia akan lembur dan mungkin akan melewatkan makan malam. Rosie melihat jam. Masih pukul tiga. Tiba-tiba saja, dia ingin mengunjungi Alan dan berbagi kebahagiaan. “Tolong siapkan bekal. Aku ingin membawanya ke kantor.” “Untuk suami anda?” Rosie mengangguk. “Baik, Nyonya.” Mita bergegas keluar dan meminta dapur menyiapkan sesuatu. Dia tidak melihat siapapun saat memasuki area memasak itu. Mita terus berjalan ke belakang, ke tempat para pekerja biasanya berkumpul. Namun, dia tidak ada seorangpun di sana. Keningnya berkerut. Mita akhirnya berbalik untuk kembali ke dapur. Namun, tiba-tiba matanya menangkap gerakan seseorang yang mencurigakan di dalam dapur. Mita bergegas bersembunyi di balik jendela. Dia melihat orang yang biasa bertugas memasak sedang mengendap-endap sambil membawa sesuatu. Dia membuka kabinet, lalu meletakkan benda itu di tempat paling dalam. Setelah itu, dia segera menutupnya dan berpura-pura serang beres-beres. Mita melangkah masuk. Tanpa memedulikan raut terkejut koki, dia berkata, “Kenapa kamu terkejut? Apa kamu melakukan sesuatu? Apa yang kamu sembunyikan?” “Aku tidak melakukan apapun,” elak sang koki. Dia tidak berani menatap Mita dan berpura-pura menyibukkan diri. “Aku melihatmu mengendap-endap. Karena sikapmu yang mencurigakan, aku merekamnya di ponselku. Apa kamu masih mau mengelak?” Tubuh si koki menegang. Dia menoleh dan menunjuk Mita dengan arogan. “Kamu jangan kurang ajar! Kamu masih baru di sini. Jangan belagu! Cepat hapus rekaman itu!” “Tidak, sebelum kamu mengatakan apa yang kamu sembunyikan.” “Kamu!!” Koki itu hampir menerjang Mita, tapi dia mengurungkannya. Lalu, sambil tersenyum sinis, dia berkata, “Simpan saja! Aku tidak takut. Memangnya apa yang bisa kamu lakukan? Aku sudah tiga tahun bekerja dengan Nyonya Hilda.” “Apakah Nyonya Hilda atau Nyonya Rosie yang di sini? Apa kamu lupa apa yang terjadi dengan Mary?” Mita bersedekap. Dia tidak mau kalah. Tidak peduli apa, dia harus melawan semua orang yang ingin mencelakakan Rosie. Nyonya muda itu telah menolongnya dari jurang kehancuran. Inilah balasan yang harus dia berikan. Kedua tangan koki itu mengepal erat. “Baik, akan aku tunjukkan. Itu hanya salah satu bumbu rahasia yang aku racik khusus.” Sang koki membuka kabinet dan mengeluarkan botol yang dibawanya tadi. “Ini!” Mita mengambilnya. Itu adalah sebuah botol biasa tanpa ada tulisan atau keterangan apapun, membuatnya semakin curiga. “Oke, sekarang memasaklah untuk bekal Tuan Alan,” ucap Mita sambil menyimpan botol itu ke dalam sakunya, lalu melangkah keluar. Si koki terkejut. Dia hendak merebutnya, tapi kehadiran sopir mengurungkan niatnya. “Mit, Nyonya Rosie mau keluar?” serunya. “Iya, kalau bekal untuk tuan Alan siap, Nyonya Rosie akan berangkat,” jawabnya tanpa menoleh. Setelah mendengar jawaban Mita, sopir kembali ke garasi untuk menyiapkan mobil. Sementara itu, koki itu mengepalkan tangan dengan erat. Wajahnya penuh permusuhan. Saat Mita hampir melewati pintu dapur, dia berbalik, lalu berkata, “Oh iya, kalau aku merasa kamu akan melaporkan kepada Nyonya Hilda, aku tidak akan ragu membongkarnya di depan Nyonya Rosie dan tuan Alan. Kita lihat siapa yang akan menang. Tenang saja, kalau aku merasa botol ini tidak bermasalah, aku akan mengembalikannya kepadamu.” Mita tertawa dan melanjutkan langkahnya. Tujuannya jelas, menyerahkan botol itu kepada Rosie. Setelahnya, semua tergantung pada nyonya mudanya. Satu jam kemudian, Rosie sudah berada dalam perjalanan menuju kantor. Satu tas bekal berada di atas pangkuannya, dipegang dengan seksama seolah harta Karun yang berharga. Wajah tirusnya tampak lebih menawan. Meskipun tidak ada suara selama perjalanan, tapi suasana bahagia jelas terasa. Tidak lama kemudian, mobil sudah berhenti di depan pintu utama perusahaan. Rosie pun turun. Beberapa pegawai -terutama yang lama- pernah melihat Rosie sebelumnya. Mereka menyapa dengan hormat. Rosie menjawabnya dengan senyum dan anggukan. Tiba di lantai tempat Alan berada, senyum Rosie semakin lebar. Dia tidak sabar ingin bertemu suaminya. “Selamat siang, Nyonya. Apakah anda ingin bertemu dengan Tuan Alan?” Seorang pria mendekat dan berkata dengan sopan. Rosie mengangguk. Keningnya sedikit berkerut, mencoba mengingat siapa pria itu. “Kamu,,, sekretarisnya Alan?” Pria itu mengangguk. “Benar, Nyonya. Kebetulan Pak Alan masih ada sedikit urusan di bawah. Apa Nyonya mau menunggunya sebentar?” “Dia tidak lama, ‘kan?” “Tidak, Nyonya. Mungkin sebentar lagi kembali.” Rosie mengangguk. “Aku akan menunggunya di dalam.” “Baik, Nyonya. Saya akan menyiapkan teh jahe untuk Anda.” “Terima kasih.” Rosie masuk ke ruangan Alan. Suasana di dalam sedikit berbeda dari yang terakhir kali dia tahu. Dia meletakkan tas bekal di atas meja, lalu mulai melihat-lihat. Ruangan ini terasa lebih hangat dengan pot-pot kecil di dekat jendela juga lukisannya. Di atas meja, ada pigura kecil berisi foto pernikahan mereka. Rosie tidak bisa menahan senyuman. Namun, sedetik kemudian, wajahnya membeku saat melihat voucher hotel terselip di bawahnya. Karena penasaran, Rosie pun mengambilnya. Itu adalah voucher menginap dua hari satu malam di sebuah hotel berbintang lima di pusat kota. Hotel ini sangat terkenal dengan pelayanannya yang eksklusif. Kening Rosie berkerut. Beribu pertanyaan meramaikan benaknya. Dari mana Alan mendapatkan voucher ini? Untuk apa dia menyimpannya? Tiba-tiba saja, dia teringat dengan pesan dari Kai di ponsel suaminya. Rasa takut mulai merayap. Rosie kembali memeriksa meja Alan. Namun, setelah berkali-kali memeriksa dengan teliti, Rosie tidak menemukan apapun. Perlahan, rasa takutnya menghilang. Mungkin ini memang hanya pikirannya saja. Rosie mengambil foto pernikahan mereka. Dalam hati, dia berdoa semoga apa yang tadi sempat ada di pikirannya tidak terjadi. Rosie tersenyum lembut menatap foto itu. Namun, senyum itu perlahan memudar dan akhirnya menghilang sepenuhnya. Posisi foto itu tidak pas, sedikit miring. Ada celah di pojokannya. Dan di sana, Rosie bisa melihat ada foto lain. Dengan tangan gemetar, Rosie membuka pigura dan mengeluarkan foto pernikahannya. Tiba-tiba, sebuah foto lain terjatuh. Rosie segera mengambilnya. Jantung Rosie berdebar dan tubuhnya gemetar hebat. Itu adalah foto hasil USG.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD