Rahasia

1248 Words
Dion memarkirkan mobilnya dengan kening mengernyit melihat mobil lain yang juga terparkir di sebelahnya. Beberapa kali dia menoleh sementara tangannya sibuk dengan tongkat persneling dan kakinya menyesuaikan pedal gas dan kopling. Setelah memastikan posisi mobilnya, dia mematikan mesin, melepas sabuk pengaman, dan turun. “Tuan Dion, selamat datang.” Seorang tukang kebun bergegas menghampirinya, tampak sumringah seolah lama sudah tidak bertemu. “Apakah ada tamu lain?” “Iya, Tuan. Seorang wanita.” Dion sedikit mengangguk. Meskipun dalam hati dia cukup penasaran siapa sosok tamu yang bisa membuat kerasnya hati Suryo melunak. Seperti yang dia tahu, Suryo tidak mudah menerima tamu. Semua dia seleksi dan bahkan tidak jarang menolak tamu dan pasien. “Apakah tamu pak tua itu baru datang?” “Tidak, Tuan. Sudah hampir dua jam.” Dua jam. Berarti tidak lama lagi sesinya akan berakhir. Dion tidak ragu untuk masuk. Karena jika sesi tamu tersebut masih lama, Dion lebih baik putar balik dan kembali lain waktu. Pria itu berjalan masuk dengan langkah lebar. Meskipun tubuhnya tinggi dan tegap, ada kesan rapuh yang terlihat jelas. Wajahnya tampan dan memiliki mata cokelat gelap yang indah. Namun dalam kegelapan matanya, tersimpan rasa sakit dan kesendirian. “Kenapa kau kemari? Siapa yang mengijinkanmu masuk? Aku sudah menghapus namamu dari daftar tamu.” Suryo mendengkus melihat siapa yang tidak baru saja memasuki rumahnya. “Jangan kaki begitu! Umurmu sudah tua. Tidak baik memiliki temperamen buruk,” jawab Dion santai. Tanpa menunggu, dia sudah duduk dengan tenang dan menyandarkan punggungnya ke sofa. “Bocah tengik! Aku menunggumu tidak hanya satu atau dua bulan, tapi kamu selalu menolak. Sekarang, pasienku sudah banyak. Pulanglah! Aku tidak punya waktu untuk merawatmu.” Suryo melempar kulit kelengkeng yang baru saja dia kupas ke arah Dion. Sayangnya, Dion bergerak lebih cepat. Kulit kelengkeng itu hanya mengenai udara dan terjatuh begitu saja. “Berani kamu menghindar?” Suryo mendelik. Matanya melotot, tapi dia sama sekali tidak tampak marah. Sosok profesor tua itu justru terlihat seperti ayah yang sedang kesal dengan tingkah putranya. “Aku hanya menyelamatkan diri.” Dion mengangkat kedua bahunya. Suryo tidak lagi meladeni Dion. Dia baru saja selesai memijat Rosie dan energinya terkuras. Jadi, dia kembali menekuni aneka buah dan teh hangat yang disiapkan untuknya, mengabaikan Dion sepenuhnya. “Aku ingin kamu memeriksaku, Prof,” ucap Dion setelah terdiam beberapa lama. Suryo mengangkat wajahnya. Ditatapnya Dion dengan seksama. Sudah lama dia mengenal pria ini. Semuanya berawal saat terjadi kecelakaan beruntun di pinggir kota. Saat itu, dia yang sudah tua sedang mengendarai mobil antiknya dengan tenang. Tiba-tiba saja, dia ditabrak dari belakang. Untungnya, Dion yang mengendarai mobil di belakang memiliki refleks yang bagus sehingga hanya ujung belakang mobilnya saja yang penyok. Kantung udara juga berfungsi dengan baik. Cedera serius bisa terhindarkan, namun lecet tetap ada. Meskipun tidak terluka parah, tapi karena saraf tuanya, Suryo memerlukan waktu untuk mengumpulkan kesadarannya. Beruntung, Dion, Sebagai permintaan maaf -meskipun bukan salahnya-, membawa Suryo ke rumah sakit dan menanggung semua biaya. “Baru sekarang kamu tersadar?” Suryo mendengkus. Dion memajukan tubuhnya, menyatukan kedua tangannya, bahunya terkulai. “Dia akan menikah lagi.” “Aku sudah pernah bilang. Dia bukan orang yang tepat. Tapi apa katamu waktu itu?” “Iya, iya, aku minta maaf. Semua sudah berlalu. Sekarang, kamu mau membantuku ‘kan, Prof?” Suryo belum sempat menjawab, pintu kamar terbuka. Kedua pria itu sontak menoleh. Dion tertegun melihat siapa yang keluar dari kamar rawat. Tidak disangka dia akan bertemu dengan perempuan itu di sini. Apa dia pasien? Rosie sempat melirik tamu Suryo. Sepertinya familiar, tapi dia lupa kapan dan di mana. Juga, dia sedang tidak ingin berbasa-basi. “Terima kasih atas waktu Anda. Saya akan kembali minggu depan.” Suryo mengangguk. “Hmm. Ambil obatmu di depan.” “Baik, Prof. Selamat siang.” Rosie tersenyum hormat kepada Suryo dan tamunya, lalu keluar. Dion menatap Rosie yang menjauh dan menghilang di balik pintu. Meskipun dia bisa menebak tujuan Rosie kemari, tapi tetap saja dia penasaran. “Dia,,,, pasien baru, ‘kan?” Telunjuk Dion mengarah keluar. “Hmm, kenapa?” jawab Suryo tanpa mengangkat kepalanya. “Tidak ada. Hanya penasaran kenapa prof mau menerima pasien baru.” “Kasusnya unik. Seorang kenalan baik memperkenalkan kami.” Suryo mengelap tangannya dengan tisu, meminum air, lalu mengajak Dion ke kamar. Suryo mengernyit begitu dia mulai memijat perut Dion. Dia mengubah posisi tangan beberapa kali, tapi wajahnya semakin gelap dan gelap. “Ada apa? Apa penyakitku sangat parah?” Dion tampak tertekan. “Apa kamu yakin kamu mandul?” Suryo menatap Dion penuh selidik. “Aku melihat sendiri hasil tes yang dibawakan istriku. Di sana tertulis dengan jelas kalau jumlah spermaku kurang dan tidak lincah. Kenapa?” “Mantan istri!” “Iya, mantan istri. Sekarang katakan apa ada yang salah dengan diriku?” Dion merasa takut. Sebagai seorang pria, dia takut dianggap tidak perkasa. Suryo menggeleng lemah. Dia berdiri, lalu membersihkan tangannya di wastafel di pojok kamar. “Prof?” Dion pun duduk. Matanya menatap Suryo tanpa henti, menuntut jawaban. Suryo berbalik. Dia masih memegang tisu untuk mengeringkan tangannya. “Sudah berapa lama kalian dulu menikah?” “Satu tahun,” jawab Dion dengan cepat. Tahu bahwa Suryo tidak akan melanjutkan sesi terapinya, dia memakai kembali kaosnya. Suryo duduk di kursi di samping kasur dan Dion bergegas duduk di depannya. “Mungkin sebaiknya kamu memeriksakan diri lagi ke dokter.” Dion mengernyit. “Untuk apa? Dokter yang aku datangi dulu juga terkenal hebat.” Suryo menggeleng. “Bukan karena dia hebat atau tidak. Aku hanya ingin kamu periksa ke dokter yang lain. Cari second opinion.” “Tapi kamu justru second opinion ku, Prof. Katakan saja! Aku sudah siap.” “Menurutku, kamu tidak mandul. Posisi dan kondisi prostatmu bagus. Ginjalmu sehat. Nadimu juga bagus. Kamu tidak tampak seperti orang mandul. Kamu sehat.” Dion, tanpa sadar, memundurkan kepalanya. Tidak percaya dengan apa yang dia dengar. “Tapi, dia bilang…” “Maka dari itu, pergi temui dokter lain. Pastikan kondisimu.” Dion mengusap wajahnya dengan kasar. Tidak menyangka dia akan mendengar hal tidak masuk akal seperti ini. Apa mungkin dia ditipu? Untuk apa? Kehidupan pernikahannya dulu cukup harmonis. Tidak ada pertengkaran berarti. Setiap akhir minggu, dia akan mengajak istrinya pergi. Sesekali, mereka juga berlibur ke vila-vila di luar kota. Hanya saja, kehadiran anak yang tidak kunjung datang membuat istrinya mulai berubah. Berkali-kali istrinya mengajak periksa, tapi dia tolak. Dion pikir mereka masih satu tahun. Tidak apa jika masih harus berpacaran. Namun, istrinya memiliki pendapat lain. Perempuan itu begitu memaksa ke dokter. Akhirnya, mereka pergi ke dokter yang direkomendasikan oleh seorang teman istrinya. Dan hasilnya, dirinya mandul. Sejak saat itu, istrinya berubah dingin dan sama sekali tidak pernah mau disentuh. Dia juga sering menginap di rumah teman. Hingga suatu hari, Dion mendapat surat panggilan dari pengadilan agama. “Baik, Prof. Terima kasih.” Dion mengangguk lesu. Di dalam mobil, Dion hanya terdiam. Pikirannya kacau. Tiba-tiba, dia dikejutkan dengan pering ponselnya dan melihat nama Arka di sana. Dia pun memasang earphone. “Halo, Ka.” “Dion, kamu sibuk?” “Mmm, tidak juga. Kenapa?” “Aku tunggu di tempat biasa. Ada informasi baru tentang mantan istrimu.” “Apa ini tentang alasan kami bercerai?” “Tidak juga. Tapi aku yakin kamu akan terkejut. Seperti yang aku pernah bilang. Dia bukan wanita yang cocok untukmu. Jangan lama. Aku tunggu.” Tangan Dion mengepal. Apa lagi sekarang? Informasi yang tadi saja dia masih bingung. Sekarang, sahabatnya juga memiliki informasi lain? Sebenarnya, ada berapa banyak rahasia yang disimpan mantan istrinya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD