Rania yang baru melangkah menuju ruang tengah dibuat terkejut saat kedua pasang mata tertuju padanya dengan cukup tajam. Lebih terkejut lagi Shaka menyebutnya calon istri. Rania berusaha bersikap tenang dengan menggenggam nampan di tangannya kuat. Menarik bibir membentuk senyum tipis yang tak terlalu kentara karena paham mungkin itu hanya akal-akalan Shaka saja.
Mana mungkin majikannya yang setampan itu mau punya calon istri seperti dirinya.
Erika memperhatikan Rania dengan seksama. Selama dua Minggu menjadi pacar dadakan Shaka baru semalam ia diajak ke Apartemen pria itu sehingga baru melihat Rania. Mata tajam itu bergulir memandang Rania dengan pandangan mencemooh.
"Yang bener ajalah, kalau boong nggak usah kek gini. Basi banget tau," cibir Erika tak percaya pastinya.
Lagipula mana mungkin selera Shaka yang tampangnya bad boy dan ganas di ranjang ini menyukai gadis benjilbab yang terlihat sangat kampungan itu. Iya sih wajahnya cantik, tapi penampilannya biasa saja.
"Nggak nyuruh lu percaya juga." Shaka menyahut acuh tak acuh. "Rania, bawa sini kopinya," titahnya kemudian.
Rania mengangguk mengiyakan, membawa kopi yang baru diseduh ke arah Shaka dan dengan hati-hati meletakkannya di meja. Ia cukup risih dengan pandangan Erika yang sangat sinis itu.
"Masih disini juga? Inget 'kan perjanjiannya apa?" Shaka balas melirik Erika karena tak kunjung pergi.
Erika mengepalkan kedua tangan terlihat sangat kesal. "Gua cabut tapi lu tetep harus bayar service yang semalem," ucapnya tanpa rasa malu.
"Udah gua transfer, gua kasih bonus juga buat isepan lu semalam," sahut Shaka sarkas. Sudah bisa ditebak para jalang kecil itu ujung-ujungnya pasti meminta uang.
Awal kenalan pasti ngomongnya, iya nggak apa-apa. Kita sama-sama seneng, tahu sama tahu ajalah. Nggak ada yang rugi juga.
Shaka tak tahan untuk mencibir, tipu muslihat wanita memang sangat luar biasa sekali bukan? Shaka sudah kebal dengan rayuan semacam itu. Kali ini ia harus selektif dalam urusan permintaan.
Atau nggak usah cinta-cintaan sekalian.
"Gimana anak kamu?"
Pandangan Shaka tersita pada Rania yang kini tengah membereskan pecahan vas yang tadi masih berserakan. Wanita itu jelas sudah tahu tabiatnya selama ini namun pribadinya terlihat sangat pendiam. Mereka berdua sering bertemu tetapi Rania hanya berbicara seperlunya, itu pun hanya jika Shaka bertanya.
Memangnya apa yang ia harapkan?
"Tadi aku tinggal di dapur sebentar, Mas. Main sama boneka yang dibawa," sahut Rania pelan.
"Kok kamu taruh dapur? Bahaya loh, Ran. Ajak kesini aja," ujar Shaka impulsif begitu saja.
Bukan sok perhatian, tetapi bukankah memang bahaya meninggalkan anak kecil di dapur?
"Iya, Mas. Habis ini saya ambil Najwa." Rania mengangguk mengiyakan. "Saya sebenarnya mau minta maaf, belum sempat buatin Mas Shaka sarapan. Habis ini ya, Mas."
"Anak kamu tumben ikut?" Shaka mengernyit heran. "Itu anak kamu 'kan?" Shaka kembali bertanya. Masih terkejut juga karena Rania bisa membawa seorang anak kecil. Karena selama ini Rania yang diketahui selalu datang sendiri.
"Najwa itu—"
"Mama!" Suara kecil Najwa terdengar dari arah dapur. Anak itu melangkah pelan menghampiri Rania. "Mama!"
"Loh Najwa kok kesini, 'kan Mama suruh main dulu." Rania kembali berjongkok menyambut anak perempuan yang tubuhnya cukup kurus itu.
"Mama, maem."
"Oh Najwa mau maem? Habis ini ya, Sayang. Pokoknya harus sabar, Mama beresin kerjaan dulu, oke?" Rania kembali membujuk Najwa, benar-benar harus bersabar jika berurusan dengan anak kecil daripada nanti menangis.
Pemandangan itu jelas menarik perhatian Shaka. Ia mengambil kopi di meja lalu meminumnya perlahan. Melihat bagaimana Rania yang begitu sabar menenangkan putrinya tiba-tiba terlintas jika ia akan melihat adegan yang sama kelak.
Melihat istrinya akan menenangkan anak mereka dan ia duduk menikmati secangkir kopi.
Mata Shaka seperti enggan berpaling. Rania memang ia kenal sebagai wanita yang sopan namun juga tegas. Selama bekerja di sana Rania tidak pernah menunjukkan gestur macam-macam dan mencurigakan. Wanita itu benar-benar hanya bekerja dengan sangat baik.
Tidak munafiklah, Shaka pernah tertarik saat melihat wanita itu datang ke rumah mengaku sebagai pembantu baru yang dikirim dari yayasan yang sebelumnya telah Shaka hubungi. Selain penampilannya yang berbeda, wajah Rania sangat cantik dengan belah bibir yang menggoda.
Kalau misal digigit pasti enak banget.
Shaka terkejut sendiri akan pemikiran gila itu. Buru-buru ia meminum kopinya sambil sesekali melirik Rania yang kini tengah berjalan ke arah dapur lalu kembali membawa kantong plastik dan memasukan pecahan vas tadi.
"Suami kamu dimana?" Pertanyaan iseng itu akhirnya terlontar dari bibir Shaka.
Rania yang ditanya seperti itu memandang Shaka dengan dahi berkerut. "Suami?"
"Ya, ayah anak kamu. Kenapa bolehin kamu kerja bawa anak?"
"Ayah eja!" Najwa tiba-tiba menyahut tanpa diminta. Sedikit banyak anak itu paham dengan omongan orang dewasa karena usianya sudah 3 tahun.
"Oh ayah kamu kerja. Kerja apa?" Shaka menimpali dengan penuh senyum.
"Eja!" Najwa hanya menyahut sekilas-sekilas saja.
"Ayahnya kerja tambang di Kalimantan, Mas. Udah lama nggak pernah ada kabar, mungkin kecantol cewek sana," celetuk Rania sedikit sewot jika membahas tentang ayahnya Najwa. "Mas Shaka saya taruh Najwa disini sebentar, ya. Mau masak sarapan," ucapnya kemudian.
Shaka mengerutkan dahinya lebih dalam, belum juga menolak Rania sudah lebih dulu berlalu ke dapur. Wajahnya sontak berubah masam.
"Ini sebenarnya yang majikannya siapa? Bisa-bisanya malah dititipin anak," cibir Shaka dalam hati.
Shaka tak terlalu memperdulikan Najwa, lebih memilih mengambil ponsel lalu bermain game kesukaannya. Ingin pergi pun masih terlalu pagi, lebih baik ia me time untuk dirinya sendiri. Untung juga Erika sudah meninggalkan Apartemen, jika masih di sana Shaka pasti terus diajak berkembang biak.
Menyebalkan!
Najwa awalnya masih anteng-anteng saja saat ditinggal Rania. Tetapi anak itu tiba-tiba merasa mengantuk, ia berjalan ke arah Shaka. Naik ke atas sofa lalu tanpa permisi merebahkan kepalanya yang mungil pada paha Shaka yang langsung terkejut.
"Eh, eh." Shaka hampir saja terjingkat karena begitu kaget.
"Papa antuk." Najwa sempat berceloteh sebelum akhirnya memejamkan mata begitu saja.
Shaka semakin kaget pastinya, tetapi bukan karena sikap Najwa melainkan panggilan tanpa rasa canggung dari bibir anak itu.
Papa katanya? s**t!
Yang benar saja, Shaka belum menikah mana bisa dipanggil Papa. Tetapi melihat anak perempuan itu memeluk pahanya dengan begitu posesif membuat hati Shaka tersentuh. Ia meletakan ponsel miliknya, meraih tubuh mungil itu agar tidur lebih nyaman.
Namun, Shaka dibuat lebih kaget saat merasakan hawa tubuh anak itu begitu panas.
"Dia demam?" Shaka meraih tubuh Najwa segera, setelahnya ia kembali dibuat kaget melihat darah yang mengalir dari tangan Najwa yang tadi berdarah dan belum diplester. Darah itu cukup banyak sampai mengenai celana Shaka.
"Darah!"
Kepanikan Shaka kian menjadi-jadi, melirik ke arah dapur dimana Ibu anak ini berada. "Ran, Rania! Anak kamu berdarah ini," panggil Shaka dengan teriakan.
Rania yang ada di dapur kaget mendengarnya, diletakkan pisau yang tadi digunakan untuk memotong bahan makanan lalu berjalan tergesa keluar. Matanya melebar tatkala melihat Najwa sudah berada di gendongan Shaka.
"Mas Shaka—"
"Ini kamu nggak tahu apa kalau anak kamu demam? Tangannya robek gini, buruan ayo bawa ke rumah sakit," ucap Shaka begitu panik, terkesan marah malahan karena Rania yang sangat ceroboh.
"Robek gimana, Mas?" Rania semakin terkejut, ia mendekat melihat Najwa yang berada di gendongan Shaka. "Najwa, Najwa dengar Mama?" Ia mengelus lembut punggung anak itu.
"Lukanya dalem ini, perlu dijahit biar nggak makin besar. Buruan ayo!"
Shaka buru-buru berlalu membawa Najwa meninggalkan Apartemen diikuti Rania di belakangnya. Wanita itu masih kebingungan dan juga panik karena kondisi Najwa yang tiba-tiba berdarah sebanyak itu. Langkah kakinya sedikit tersandung mengikuti Shaka langkah kaki Shaka yang lebar.
Namun, saat baru saja keluar tiba-tiba Shaka menghentikan langkahnya membuat Rania tak sengaja menabrak punggung pria itu. Shaka menoleh memandang Rania cukup tajam sehingga Rania juga kaget.
"Tunggu sebentar."
Bersambung~