"Kenapa, Mas?" Rania bertanya bingung meski raut wajahnya masih sangat panik.
Shaka terdiam sejenak. "Ambilin kacamata, Ran. Nggak banget keluar kayak gini, ck!"
Rania yang mendengar itu menghembuskan napas lega. Tadinya ia berpikir Shaka akan berubah pikiran atau bagaimana. Ia segera mengangguk tanpa diperintahkan dua kali, masuk kembali ke Apartemen untuk mengambil apa yang Shaka butuhkan.
Saat masuk ke dalam kamar Rania dibuat terkejut melihat ranjang yang begitu berantakan. Sebenernya sudah biasa ia membereskan kamar Shaka, tetapi tetap saja masih kaget jika melihat gaya hidup majikannya. Rania berjalan ke arah lemari milik Shaka, mengambil kacamata yang biasanya ditaruh di lemari.
Namun, saat Rania membuka laci lemari itu ia kembali dibuat terhenyak melihat box kecil berwarna hitam yang tak sengaja dipegang. Rania buru-buru menarik tangannya yang mendadak gemetar. Terang saja ia bukan wanita polos yang tidak tahu apa isi dalam box itu.
"Semua cowok sama saja, maunya enak doang tapi takut buat tanggungjawab. Dalam satu box ini apa nggak ada yang bocor gitu? Biar hamil sekalian pacarnya Mas Shaka," cibir Rania dalam hatinya.
Rania mengabaikan box yang berisi sarung burung itu. Lebih memilih segera mengambil kacamata yang dibutuhkan lalu kembali menemui Shaka dan Najwa yang sudah menunggu di luar.
"Ini, Mas." Rania memberikan kacamatanya.
Shaka berdecak pelan. "Kamu kok nggak pengertian sih, Ran. Ini aku udah gendong anak kamu, ya pakaiinlah!" cetus Shaka.
Rania mengerutkan bibir, tanpa banyak bicara langsung memakaikan kacamata itu pada Shaka. Mendekat hingga tubuhnya nyaris bersentuhan dengan Shaka, hanya terhalang Najwa yang asyik memeluk leher Shaka dengan posesif. Dahi Rania berkerut sedikit, kenapa Najwa menjadi sok akrab seperti itu dengan majikannya.
"Malah bengong lagi, kamu baru sadar ya Ran kalau aku ganteng?" celetuk Shaka menyeringai dengan senyum pongah.
Rania terperangah mendengar tuduhan implisit itu, segera ia menjauhkan tubuhnya dari Shaka.
"Kalau cantik mah perempuan," sahut Rania pelan.
Shaka mendengus mendengar jawaban Rania, wanita cantik dengan jilbab itu ternyata susah juga untuk digoda. Melihat dari dekat Shaka yang justru merasa ketar-ketir karena wajah Rania yang cantik. Belah bibir itu seperti terus menariknya untuk mendekat. Sayang Rania bukan type wanita yang mudah dibuat baper seperti wanita yang berada di keliling Shaka selama ini.
"Ah kamu bohong banget, Ran. Tinggal ngomong aja kalau aku ganteng," ujar Shaka masih dengan sikap sombong. "Ini anak kamu gendong." Setelahnya Shaka mengangsurkan anak kecil berumur 3 tahun itu kepada Rania mendadak.
Rania cukup kaget namun segera reflek meraih Najwa ke dalam gendongannya dengan mata yang memandang Shaka bingung.
"Apa? Aku belum nikah ya, Ran. Nanti dikira aku hot Daddy kalau bawa anak. Kamu gendong anak kamu sendiri, ayo." Shaka menjelaskan tanpa diminta, berlalu mendahului Rania yang kini memasang wajah masam.
Shaka melangkah santai saja, tetapi beberapa saat kemudian ia merasakan sesuatu. Matanya membelalak saat melihat ke arah bawah.
"s**t, masker blackmamba lupa gua pakai lagi. Terbang nggak ya dia?" batin Shaka tiba-tiba resah jika aset masa depannya akan unjuk diri diwaktu yang tidak tepat sementara ia lupa tidak memakai celana dalam karena tadi terburu-buru mendengar Najwa menangis.
Shaka melirik ke arah Rania yang berjalan di belakangnya sambil mengajak ngobrol putrinya.
"Ah sama Rania aja, paling nggak bangun," cibirnya dalam hati.
Shaka mengantar Rania ke rumah sakit yang paling dekat dengan Apartemennya. Selain memilih waktu agar lebih cepat Shaka juga tidak mau pergi berkeliyaran dengan kondisi yang masih burik seperti itu. Wajahnya memang tidak usah diragukan, tetapi bau-bau desahan masih tersisa dari tubuhnya.
Sialan!
Begitu sampai Dokter tenyata pecahan vas tadi ada yang masuk ke kulit Najwa hingga terkelupas cukup besar. Dokter mengatakan jika tidak dijahit akan lama sembuh.
"Tangan putrinya harus dijahit ya, Pak. Sebelum proses anestesi tolong lengkapi dulu persyaratan datanya, beberapa menit lagi Dokter Albin datang," ujar seorang suster yang baru saja mengecek keadaan Najwa.
Shaka mengangkat alisnya, putri? Sepertinya suster itu salah paham.
"Suster—"
"Ini Pak, silahkan isi sebentar. Bisa minta bantuan Istrinya mungkin," seloroh Suster sambil melirik ke arah Rania saat menyerahkan kertas yang perlu di isi.
Shaka semakin terkejut, ikut melirik ke arah Rania yang hanya diam. Ia yakin wanita itu pasti mendengar ucapan suster tetapi pura-pura tidak mendengar. Bibirnya berdecih lalu tersenyum iseng, ia mengambil kursi lalu mendekati Rania hingga tersisa jarak satu jengkal.
"Ini katanya harus di isi," beritahu Shaka. "Siapa nama lengkap Najwa?" tanya kemudian.
"Najwa Humaira," sahut Rania singkat. Ia perlu menggeser tubuhnya agar tidak terlalu dekat dengan Shaka.
"Umur?"
"3 tahun."
"Nama Ayah?"
"Tama," sahut Rania cukup ketus menyebut nama Ayahnya Najwa itu.
Shaka mengangguk pelan sambil menulis di kertas. Menanyakan semua tentang Najwa dari nama ayah dan ibunya juga. Selama proses itu Rania terus menjauhkan tubuhnya karena Shaka terasa benar-benar dekat. Ia tidak sadar jika posisi bokongnya sudah di pinggir kursi hingga nyaris jatuh.
"Ini tinggal tanda tangan orang tua, mau aku atau?" Shaka mengangkat pandangan hingga netranya bertemu dengan netra Rania yang kecoklatan itu.
Sementara Rania terkejut saat melihat mata Shaka yang cukup tajam hingga tanpa sadar ia menjauhkan tubuhnya lagi dan berakhir terjatuh. Tetapi sebelum itu terjadi pinggangnya ditahan oleh Shaka hingga ia masuk ke dalam pelukan pria itu.
Rania semakin syok, tubuhnya benar-benar menempel erat dengan Shaka hingga wajah keduanya nyaris bersentuhan. Buru-buru Rania menjauhkan tubuhnya dan bangkit agar pelukan Shaka terlepas.
"Hati-hati dong, Ran. Kamu sengaja ya biar aku peluk?" celetuk Shaka.
Rania berdecak pelan. "Mana ada sengaja, aku hanya menjaga jarak. Mas Shaka jangan mepet terus dong," sergah Rania antara segan dan kesal dengan Shaka ini.
"Suka-suka aku dong mau duduk dimana." Shaka menyahut santai. "Ini udah selesai aku isi, tinggal nunggu Dokter." Diangsurkan kertas putih itu kepada Rania.
Rania hanya melihatnya sekilas sebelum akhirnya Dokter datang untuk melakukan penanganan. Selain akan menjahit luka di tangan Najwa ternyata Dokter mengatakan jika Najwa kurang nutrisi sehingga tubuhnya gampang terjangkit penyakit.
"Pak, kalau bisa putrinya diberikan makanan sehat, ya. Umur segini tumbuh kembang anak sangat baik, sayang kalau nggak didukung orang tua," ujar Dokter sambil mengedipkan mata genit kepada Rania.
"Iya, Dok. Nanti saya—" Rania hendak menjawab namun Shaka segera menyela.
"Nanti aku akan memberikan putriku makanan enak. Cepat lakukan saja tugasmu," omel Shaka yang menangkap gestur mengesalkan dari Dokter itu.
"Udah tau bau tanah juga, masih aja genit," gerutu Shaka begitu sebal.
Dokter itu cukup kaget mendengar perkataan Shaka yang dibalut nada kesal itu. Segera ia memberikan suntikan bius pada tangan Najwa hingga anak kecil itu menangis.
"Huaaaa Mama sakit, sakit!" Najwa tiba-tiba menjerit keras.
"Sayang, sayang tidak apa-apa. Mama disini," bisik Rania menenangkan. Meraih Najwa ke dalam pelukan.
"Nggak apa-apa anak cantik, ini cuma sebentar kok. Dokter jahit ya tangannya." Dokter yang menangani Najwa itu mendekat, otomatis harus berdekatan dengan Rania karena Najwa terus memeluk Mamanya.
Mata Shaka menyipit tatkala dokter sialan itu kembali mencari untung. Dengan gerakan cukup lembut ia memegang lengan Rania hingga wanita itu menoleh terkejut. Shaka tersenyum manis dengan mata sayu menghangatkan.
"Sini, Najwa di gendong Papa aja," ucap Shaka seolah akrab dengan panggilan Papa itu.
Rania semakin terkejut tetapi cukup paham akan maksud Shaka, ia membisikkan sesuatu pada Najwa hingga akhirnya anak itu mau dilepaskan lalu digantikan oleh Shaka.
Shaka tersenyum manis sambil melirik dokter sialan itu. Batinnya mencibir geram seolah mengatakan "Mau apa? Sini deketan gua!"
Bersambung~