Najwa tertidur saat perjalanan pulang dari rumah sakit setelah tangannya dijahit anak itu sepertinya kelelahan hingga meringkuk begitu saja di pelukan Rania yang kini duduk di samping Shaka. Pria itu sendiri sibuk menyetir mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Hari sebenarnya sudah cukup siang, tetapi cuaca akhir-akhir ini susah diprediksi. Tidak biasanya yang sangat cerah siang itu mendung gelap menyelimuti. Rintik hujan mulai turun dengan lembut membuat hawa dingin seperti memeluk tubuh setiap orang.
"Itu anak kamu udah makan belum, Ran? Aku laper banget, kita take away ya buat makan di rumah," ucap Shaka merasa perutnya mulai keroncongan.
Jelas saja, setelah aktivitas melelahkan tadi malam paginya belum makan apa pun dan harus mengantar Najwa ke rumah sakit.
"Ini Najwa tidur, Mas. Antar pulang saja, nanti saya masak sendiri di rumah," sahut Rania setelah berpikir sejenak.
"Ah jangan, anak kamu sakit loh itu. Masa mau kamu tinggal-tinggal, gimana sih Ran?" Shaka mendesis pelan, menunjukkan gestur tak suka.
"Ya gimana, Mas? Saya bukan orang kaya yang bisa duduk diam tapi uang mengalir. Kalau aku nggak kerja nanti siapa yang biayai hidupku sama Najwa," jawab Rania.
"Biaya Najwa mintain bapaknya lah, jangan cuma mau enak doang. Nggak tanggungjawab banget, cowok apaan itu?" cibir Shaka rasanya ikut geram mendengarnya. "Kamu juga salah sih, milih cowok buat diajak nikah tuh jangan modal cinta doang. Sekarang nyesel 'kan?"
Rania mengernyit sambil melirik ke arah majikannya itu. "Memangnya siapa yang mau nikah sama orang dengan modal cinta? Dipakai makan juga nggak bisa."
"Itu buktinya, kamu malah ditinggal. Punya anak lagi, kasihan Najwa. Butuh Papa baru nggak sih itu?" ucap Shaka tersenyum tipis saat punya ide jahil di kepalanya. "Atau mau suami baru gitu Mamanya Najwa?"
"Najwa nggak butuh Papa baru dan saya nggak butuh suami baru. Laki-laki jaman sekarang mana ada dipercaya sih, Mas?" Rania melirik Shaka sinis tanpa kentara, dalam hatinya pun mencibir ucapan Shaka yang dinilai sok paling suci.
Dia bersikap seolah tahu tanggungjawab tapi dia sendiri takut untuk tanggungjawab. Mainin anak orang jago, amit-amit.
Shaka mengulum bibirnya mendengar penolakan gamblang itu. Tidak masalah juga karena ia hanya iseng menggoda. Untung-untung kalau Rania mau, seperti di novel-novel yang biasanya wanita rela melakukan apa saja untuk mendapatkan uang. Tetapi jelas Rania berbeda, meskipun sopan Rania bukan wanita yang mudah ditaklukkan.
Lagipula sepertinya dia sudah turun mesin, udah punya anak gitu.
Mobil Shaka sampai di daerah perumahan Rania saat hujan sudah sangat deras. Untungnya di mobil ada payung sehingga Shaka bergegas turun, membuka pintu samping mobil dimana Rania dan Najwa berada.
"Najwa biar aku gendong, kamu pegang payungnya."
Rania mengiyakan tanpa banyak protes, memegang payung yang dibawa Shaka dan berjalan beriringan masuk ke dalam gang rumahnya. Para tetangga sepertinya sedang di dalam rumah karena hujan dan kebanyakan pintu rumahnya tertutup. Rania bernapas lega, malas juga jika harus menghadapi tetangga julid yang suka mengolok-oloknya setiap saat.
"Rumahnya yang mana?" tanya Shaka.
"Itu yang cat biru."
Shaka mengangguk lalu melanjutkan langkahnya. Rania harus menjinjit karena Shaka yang begitu tinggi. Satu tangannya memegang rok panjang yang dikenakan agar tidak ikut basah. Begitu sampai rumah, Rania buru-buru mengambil kunci dibawah pot bunga dan membuka pintu.
"Sini, Mas." Rania lalu meminta Najwa dari gendongan Shaka.
Shaka sendiri segera memberikannya karena ingin langsung pulang, akan tetapi Najwa justru semakin kuat memeluk lehernya. Hal itu membuat keduanya kaget, terutama Shaka. Merasakan tangan mungil itu memeluknya sangat posesif seperti ada getaran halus pada hati yang sulit diucapkan.
"Kamarnya mana? Biar aku tidurkan sekalian," ujar Shaka memutuskan.
Rania tidak langsung menjawab, ia menatap sekelilingnya yang sepi tapi ia tahu tetangga bisa melihat jadi jendela rumah mereka. Jika ia memasukan Shaka ke rumah pasti akan menjadi berita menghebohkan. Sudah cukup hidupnya menjadi bahan julidan mereka selama ini.
"Ran, malah bengong. Dingin nih," sergah Shaka.
Rania terperanjat mendengar seruan itu, dengan ragu ia membuka pintu rumah lebih lebar. Menunjuk kamar yang hanya ditutup korden doraemon itu.
"Taruh aja di sana, Mas. Aku tunggu sini."
Shaka mengernyit tetapi memilih untuk tidak memprotes, ia segera masuk ke dalam rumah petak yang besarnya tidak seberapa itu. Masuk ke dalam kamar yang di dalamnya hanya ada kasur lantai dan lemari plastik. Lalu di sisi salah satu dinding ada kertas warna-warni yang bertuliskan abjad dan angka. Tetapi yang unik tulisan itu tulisan tangan sendiri dan diberi warna-warna agar terlihat lebih menarik.
Shaka tahu mungkin yang membuat tulisan itu sedang menghemat biaya daripada membeli poster jadi yang pasti harganya lebih mahal. Lalu ada foto dua wanita yang sama-sama berjilbab sedang menggendong bayi perempuan. Salah satunya adalah Rania dan satunya lagi begitu mirip.
Mungkin itu saudaranya.
Tanpa banyak memikirkan hal lain Shaka segera menekuk lututnya, merebahkan Najwa di kasur dengan sangat berhati-hati.
"Papa." Najwa masih memeluk leher Shaka sangat posesif, anak itu menguyel-uyel d**a Shaka seolah menemukan kenyamanan dari diri pria itu.
Shaka tertegun, perasaan tak biasa itu kembali hadir. Biasanya banyak juga wanita yang memeluknya seperti ini tetapi jelas para wanita itu membutuhkan uangnya saja kan? Sedangkan anak perempuan itu memeluknya dengan begitu hangat seolah tengah mengantungkan sesuatu padanya.
Ia mencoba membantu Najwa agar lebih tenang. Meksipun belum pernah punya anak tetapi nalurinya sudah keluar begitu saja. Ia ikut tidur sebentar, mungkin sampai Najwa merasa lebih nyenyak.
Selama menunggu Shaka melihat-lihat lagi ruangan itu, sama sekali tidak menarik. Terkesan membosankan dan tidak nyaman pastinya. Otak Shaka yang tidak terlalu berpikir positif tiba-tiba memikirkan hal yang sangat menyebalkan.
Dulu suaminya Rania pakai jampi-jampi apa? Kok bisa-bisanya Rania yang secantik itu mau diajak susah. Terus diajak tidur di kasur keras gini gitu? Kalau pas main sakit semua pasti badannya—
"Kenapa tidak langsung keluar?"
Suara teguran dari Rania membuat Shaka keluar dari lamunan panjangnya. Raut wajah wanita itu tampak cukup kesal dan ketakutan.
"Ini Najwa meluk aku terus, gimana aku bisa lepas coba," jelas Shaka.
"Nggak apa-apa, Mas. Nanti sama saya aja, Mas Shaka pulang," kata Rania mengusir dengan bahasa yang lebih sopan meski sudah gregetan karena Shaka tak kunjung keluar.
Shaka mengerutkan bibir dengan hati yang dongkol. Perlahan ia melepaskan tangan Najwa dan bangkit. Tetapi baru juga pelukan itu lepas Najwa tiba-tiba menangis. Shaka hendak mendekat lagi tetapi Rania lebih dulu bergerak.
"Sama saya aja." Rania buru-buru merebahkan tubuhnya di kasur. Sayang posisinya kurang menyenangkan sehingga rok yang dikenakan malah terangkat hingga kakinya terpampang begitu saja.
"Mama, sakit Mama." Najwa kembali merengek.
Konsentrasi Rania seperti pecah, ingin membenarkan roknya sekaligus memenangkan Najwa yang terus menangis. Ia mengelus punggung anak itu dengan lembut sambil membisikkan kata-kata memenangkan.
"Kenapa masih disini sih?" gerutu Rania mati kutu rasanya karena Shaka terus berdiri di belakangnya.
Shaka jelas melihatnya hanya bersikap biasa saja. Lagipula hanya kaki saja, tetapi sepertinya Rania kurang nyaman sehingga Shaka berinisiatif mengambil selimut dan menutupi kaki wanita itu.
Rania bernapas lega saat merasakan benda halus menyentuh kakinya itu. Ia sudah berkeringat dingin karena takut Shaka akan macam-macam.
"Makasih," cicit Rania.
Shaka hanya menyahut dengan gumamam rendah, mulai paham dengan gelagat Rania yang tidak nyaman itu. Ia sebenarnya cukup geli melihat sikap Rania yang sangat takut padanya. Ia mungkin don juan tetapi ia bukan pria pemaksa dan mencari keuntungan.
"Aku pulang dulu deh, nanti aku kirim makanan ke sini," kata Shaka.
"Nggak usah, Mas. Saya—"
"Jangan nolak, Ran. Ini perintah dari bos kamu, durhaka kamu nanti," celetuk Shaka lagi.
Rania mengernyit heran mendengar kata durhaka. Terdengar lucu saja seorang Shaka yang terlihat urakan itu tahu tentang hal semacam itu.
Shaka meninggalkan kamar, sedikit membenarkan korden yang terbuka karena ia masuki tadi. Merasa urusannya sudah selesai ia pun segera pulang karena hujan juga sudah reda. Namun, saat Shaka baru saja hendak keluar tiba-tiba pintu terbuka paksa dari luar disusul suara teriakan dari orang dengan bahasa yang luar biasa kasar.
"NAH! INI NIH YANG TUKANG ZINA!"
Bersambung~