Setelah apa yang kamu lakukan, dengan mudahnya sekarang kamu meminta maaf? Kamu kira hatiku akan sedikit membaik saat mendengar permintaan maaf darimu? Tidak sama sekali!
.
.
.
.
Arya termenung saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh atasannya.
"Ya, Nona?" Bertanya lagi, untuk memastikan jika pendengarannya baik-baik saja.
"Jadi, kapan kita akan menikah?" Clara mengulang pertanyaannya.
"Nona?" Arya menatap ke arah Clara, meminta penjelasan apa maksud yang dikatakan oleh atasannya tadi.
"Ha-ha-ha! Aku bercanda, Ar! Santai aja kali!" Tawa Clara pecah, saat melihat wajah Arya yang terlihat kebingungan.
Arya memutar bola matanya malas. Dia merasa jengah, karena baru saja dijahili oleh Clara.
"Nona jangan seperti ini!"
"Iya, iya, aku tau. Maaf," ucap Clara sambil mencoba untuk menghentikan tawanya.
Arya masih mematung, berdiri di depan meja Clara. Dan menatap atasannya itu, yang belum sepenuhnya berhenti tertawa. Dia bersyukur, akhirnya Clara sudah kembali dengan normal. Mengingat bagaimana kemarin dia melihat Clara yang menangis dengan sangat terpuruk, membuatnya merasa tak tega.
"Tapi aku serius, kalau misalnya aku hamil, bagaimana? Emang kamu mau nikah sama aku?" tanya Clara sambil menatap Arya.
"Ya jika Nona benar-benar hamil, kita harus cepat menikah. Sebelum perut Nona semakin membesar, dan membuat orang lain semakin curiga."
"Gitu ya. Tapi aku harap, di dalam perut ini, tidak tumbuh kehidupan," kata Clara sambil mengusap perutnya yang rata.
Hati Arya terasa mencelos saat Clara mengatakan hal seperti itu. Tangan lelaki itu mengepal dengan erat, untuk meredam perasaan asing baginya.
Ah, sepertinya Clara memang tak mengharapkan dirinya, bahkan sedikit pun. Di hatinya yang terdalam, masih ada Mike. Lelaki pertama yang mengajarkan apa itu cinta Clara, dan lelaki itu juga yang membuat luka.
"Jika tidak yang ingin Nona bicarakan, saya pamit undur diri," pamit Arya sambil sedikit membungkuk dan berjalan keluar dari ruangan Clara.
Berjalan menuju ruang kerjanya yang tak jauh dari ruang kerja Clara. Masuk ke dalam, dan mendudukkan dirinya di kursi. Sedikit melonggarkan dasinya, dengan harapan rasa sesaknya bisa sedikit berkurang.
Benar, sampai kapan pun hubungannya dengan Clara tak akan pernah lebih dari atasan dan bawahan. Bohong, jika selama beberapa tahun menjadi asisten Clara, hati Arya tak bergetar.
Hati laki-laki itu bahkan sempat berdebar, tetapi hanya sebentar. Kemudian dia harus mengubur kembali perasaannya, saat tau Clara jatuh cinta pada Mike.
Arya sendiri bahkan lupa, kapan terakhir kali hatinya berdebar karena seorang perempuan. Dulu, itu terjadi dulu, saat dirinya masih duduk di bangku kuliah. Tapi, sayangnya orang tuanya tak memberikan restu, dengan alasan kasta mereka berbeda.
Pada saat itu, Arya kembali menutup hatinya rapat-rapat. Bahkan saking terlalu lamanya menutup hati, Arya sampai berubah menjadi lelaki yang kaku, tidak peka, dan membosankan.
"Hah ... astaga, kenapa rasanya se-sesak ini?" keluh Arya sambil menghembuskan napas dengan berat.
Kemudian ponselnya berdering, nama Bella terpampang di benda pipih itu. Dengan malas, Arya menekan tombol berwarna hijau, dan mendekatkan ponselnya itu ke telinganya.
"Ya, halo."
"Kamu bahkan nggak menghubungiku, setelah apa yang kamu lihat kemarin?" Bella langsung menodong Arya dengan pertanyaan.
"Kenapa aku harus menghubungi kamu?" Arya malah menjawab pertanyaan dari Bella, dengan pertanyaan.
"Hah ... aku tau, bahkan sangat tau, kalau kamu itu nggak ada rasa sama aku. Tapi, bisa kan kalo kamu pura-pura peduli sama aku?" tanya Bella dengan lirih.
Wanita itu tau, jika Arya sama sekali tak memiliki perasaan apa-apa kepadanya. Dan memaksa Arya menjadi pacarnya adalah hal yang ia sesali. Dari sekian banyak laki-laki, kenapa harus dengan Arya? Ya jawabannya mudah, kita bisa memilih dengan siapa kita akan menikah. Tapi kita tidak bisa memilih, dengan siapa kita akan jatuh cinta. Dan, hal itu pun berlaku untuk Bella.
Hatinya langsung jatuh cinta, saat pertama kali melihat Arya, yang sedang berdiri di belakang Clara. Dan tentu saja, hal gila yang kemarin ia lakukan bersama Mike juga adalah salah satu rencananya. Berharap jika Arya akan sedikit peduli, tetapi malah sebaliknya. Dia bahkan tak mendapat respon apa-apa dari Arya.
Setelah mengakhiri panggilan, Arya memutuskan untuk menuju pantry. Membuat kopi, dengan harapan jika dirinya bisa sedikit berkonsentrasi.
******
Jam pulang sudah tiba. Clara dengan cepat membereskan meja kerjanya, dan memutuskan untuk pulang ke rumah.
Keluar dari ruang kerja, Clara melihat Arya sedang mengobrol dengan Anggi. Sepertinya mereka sedang membahas pekerjaan. Memangnya apalagi yang akan dibahas oleh laki-laki kaku seperti Arya? Begitu pikir Clara.
"Ar, aku mau pulang," kata Clara sambil menghampiri Arya.
"Baik, mari kita pulang, Nona."
Lalu keduanya berjalan menuju lift, dan saat mereka sedang menunggu lift. Ponsel Clara berdering, ada seseorang yang menelpon.
Dengan malas, Clara mengambil ponsel yang ia simpan di dalam tas. Dan melihat siapa yang menelponnya. Tangannya bergetar, saat tau siapa yang menelpon dirinya.
"Kenapa tidak diangkat, Nona?" tanya Arya, membuyarkan lamunan Clara.
"A — ah, iya."
Dengan tangan yang masih bergetar, Clara menekan tombol berwarna hijau, lalu menempelkan benda pipih itu pada telinganya. Sedetik kemudian, suara seseorang yang sangat ia rindukan terdengar.
"Halo?"
Jantung Clara langsung berdegup dengan kencang, saat mendengar suara laki-laki itu. Matanya memanas, pandang matanya terasa buram, dan dari sudut matanya sudah mengeluarkan bulir-bulir air mata.
"Halo, Cla? Kamu di sana?" tanya Mike.
Tak kuasa menahan pedih, Clara berjongkok, membekap mulutnya agar suara tangisnya tak terdengar sampai di telinga Mike. Ya, Mike menghubungi Clara. Lelaki itu masih punya nyali setelah apa yang dia lakukan pada Clara.
Arya terkejut saat melihat Clara tiba-tiba saja berjongkok, dan menangis.
"N — nona!" panggil Arya.
Clara menaruh telunjuknya di depan bibir, memberikan isyarat agar Arya diam, tak bersuara. Setelah di rasa cukup tenang, Clara bangkit, dan menatap ponselnya. Ternyata panggilannya masih berlangsung.
"Ada apa, Mike?" kata Clara, dengan suara dibuat setenang mungkin.
"Are you okay?" tanya Mike, mengkhawatirkan Clara.
"I'm fine. Ada apa? Aku sibuk!" dalih wanita itu sambil menahan sekuat tenaga, agar air matanya tak kembali menetes.
"Ada yang harus aku bicarakan."
"Apa lagi? Bukannya kemarin sudah jelas, ya? Jika di antara kita, sudah tidak ada apa-apa lagi."
"Tapi, Cla! Aku bahkan belum menjelaskan semuanya!"
"Apa lagi yang harus kamu jelaskan? Semuanya udah jelas, kan?"
Terdengar helaan napas dari seberang sana. Apa lagi yang harus ia dengar dari Mike?
"Aku tunggu di Brenda Kafe!"
Setelah itu Mike mengakhiri panggilannya secara sepihak. Bahkan tak memberikan jeda kepada Clara, untuk sekedar menolak ajakan itu.
*******
Di dalam mobil, Clara sedang menatap jalanan yang melalui jendela mobil. Langit berubah menjadi jingga, suara deru kendaraan terdengar jelas. Suara klakson kendaraan saling bersahutan, kala lampu berubah menjadi warna hijau.
Sesekali Arya menatap Clara dari depan. Lelaki itu masih tak mengerti dengan apa yang terjadi pada atasannya barusan. Tiba-tiba saja Clara menangis, dan setelah itu Clara lebih banyak diam.
Yang Arya tau, jika lelaki yang menelpon Clara tadi adalah Mike. Siapa lagi jika bukan Mike? Hanya laki-laki itu yang mampu membuat Clara tertawa dan menangis di waktu yang bersamaan.
"Brenda Kafe," ucap Clara.
"Ya, Nona?"
"Kita ke Brenda Kafe."
Arya termenung, apa katanya? Brenda Kafe? Apa atasannya itu salah makan? Mobil bahkan sudah memasuki area perumahan, dan sekarang Clara meminta untuk diantar ke tempat itu? Yang letaknya dekat dengan kantornya?
Apa Clara bercanda? Arya sempat mengabaikan apa yang dipinta oleh Clara. Lelaki itu terus melajukan mobilnya, menuju rumah Clara. Dengan pelan.
"Apa pendengaran kamu sedang bermasalah, Ar?"
"Tidak, Nona."
"Aku minta ke diantar ke Brenda Kafe. Tapi kenapa mobil ini terus melaju menuju rumah?" tanya Clara dengan nada suara yang cukup tinggi.
"Maaf."
Setelah itu Arya pun langsung melajukan mobil menuju Brenda Kafe, yang terletak tak jauh dari GW Group.
********
Mike sedang mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja. Matanya sesekali menatap ke arah pintu masuk, karena orang yang ia tunggu tak kunjung tiba.
Padahal jam pulang sudah tiba dari beberapa jam yang lalu. Tapi, kenapa wanita itu belum muncul juga? Mike menyesap minuman yang ia pesan tadi, karena haus. Ia yakin, jika orang itu akan datang.
Hingga akhirnya seseorang masuk ke dalam kafe, dan mengedarkan pandangannya. Mike tersenyum, lalu melambaikan tangannya.
"Di sini!" kata Mike sambil tersenyum.
Dengan malas Clara berjalan menuju meja di mana Mike sedang menunggu. Sedangkan Arya ai suruh untuk menunggu di dalam mobil.
"Ada apa?" tanya Clara sambil menyimpan tas nya di atas meja, lalu duduk di hadapan Mike.
Mike melihat, Clara masih sama seperti dulu. Masih tetap cantik dan menawan. Kemudian lelaki itu tersenyum, jika mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Clara.
Mata Clara menatap keadaan kafe yang terlihat sangat sepi, menjelajah setiap sudut kafe. Hanya ada dirinya dan Mike, lalu beberapa karyawan.
"Tenang aja, kafe ini udah aku booking."
"Ada apa? Aku sibuk! Jadi cepat katakan, ada apa?" desak Clara pada Mike. Dia tak mau terlalu bersama Mike, takut perasannya berubah dan berujung dia tidak akan bisa melepaskan Mike.
"Maaf." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Mike.
"Untuk?" Clara pura-pura bodoh.
"Untuk kejadian kemarin."
Clara diam, dia belum berkomentar apa-apa. Masih menunggu perkataan Mike, yang ia yakini belum selesai diucapkan.
"Maaf, aku benar-benar khilaf. Dan seperti yang kamu tau, aku pun lelaki normal. Yang mempunyai nafsu, dan butuh sentuhan. Tapi apa? Bahkan untuk sekedar berciuman saja kamu tidak pernah mengijinkannya. Ah, jangankan berciuman, bahkan untuk sekedar bergandengan tangan juga kamu terpaksa, kan? Aku — "
"Iya, di sini aku yang salah. Pemikiran aku yang terlalu kolot, sampai-sampai aku tidak bisa memberi apa yang kamu mau. Karena didikan yang diberikan orang tuaku, sehingga aku seperti ini. Baiklah, lakukan apa yang kamu mau. Kamu boleh tidur dengan siapa pun, aku tidak akan melarangnya. Karena di antara kita, udah nggak ada apa-apa lagi. Sudah? Jika sudah, aku pamit." Clara hendak pergi, tetapi tangan wanita itu ditahan oleh Mike.
"Tunggu!" tahan Mike.
Mata Clara menatap tajam ke arah lengannya yang sedang digenggam oleh Mike. Sadar jika Clara tak senang, dengan cepat Mike melepaskan tangannya.
Setelah lengannya dilepaskan, Clara bergegas keluar dari kafe. Dengan air mata yang kembali membasahi wajah wanita itu. Untungnya, ia memakai kacamata hitam, sehingga tak membuat orang-orang penasaran, alasan kenapa ia menangis.
Sedangkan di dalam mobil, Arya sedang menunggu atasannya sambil harap-harap cemas. Lelaki itu tadinya ingin ikut ke dalam, tapi dicegah oleh Clara. Mengingat siapa orang yang akan ditemui oleh Clara, membuat lelaki itu cemas.
"Nona?" Arya melihat Clara sudah berjalan ke arah mobil, sambil membenahi rambutnya yang tertiup angin.
Dengan cepat Arya keluar dari mobil, dan membukakan pintu mobil untuk Clara. Setelah atasannya masuk, Arya pun langsung duduk di belakang kemudi. Hendak menyalakan mesin mobil, tapi ia urungkan, saat telinganya mendengar isak tangis dari nona nya.
"Nona ...."