Keduanya sudah berada di dalam mobil. Shila tak henti tersenyum dan mengucapkan terima kasih yang sangat banyak pada Arga. Karena Arga sudah membantu Shila dalam hal keuangan.
"Kita langsung ke tempat yang mau kamu lamar kerja itu kan?" ucap Arga pada Shila.
"Eum ... Om gak apa -apa antar Shila kesana? Jauh ga sih?" tanya Shila merasa tidak enak.
"Gak apa -apa. Saya free sampai sore. Saya nanti malam tugas," jelas Arga pada Shila.
"Oke kalau gitu. Makasih ya, Om. Eum ... Tante Vira, gak marah?" tanya Shila ragu.
Arga mulai tak menjawab pertanyaan Shila. Kalau hal tidak penting kayak gitu untuk apa ditanggapi. Benar kan?
Arga mengambil kaca mata hitam dari dalam dashboard dan memakainya. Kulitnya yang putih sangat kontras saat kaca mata hitam itu ada di wajahnya. Memang tampan sekali lelaki yang ada di sampingnya.
Merasa tidak dijawab pertanyaannya itu. Shila memilih diam dan menatap ke arah samping kaca jendelanya Setidaknya ia bakal tenang untuk satu bulan ini. Shila harus bekerja keras agar cepat mendapatkan uang yang bisa kost di tempat yang sama seperti Arga. Kost itu memang sangat enak dan nyaman. Baru satu hari saja, Shila merasa betah berada di sana.
Mobil melaju dengan sangat cepat menuju arah rumah kost yang ditempati Arga dan melewatinya hingga menemukan perempatan jalan lalu belok ke kiri. Tak jauh dari sana ada sebuah kafe yang cukup besar dan parkirannay sangat luas. Bangunan kafe itu banyak trebuat dari kaca besar.
Mobil Arga sudah masuk ke dalam halaman parkiran dan menghentikan laju mobilnya di tempat yang telah di tentukan. Arga mematikan mesin mobil dan melepaskan sabuk pengaman dan kaca matanya lalu turun.
Shila pun iku turun dari mobil dan berjalan mengikuti Arga. Shila membaca nama kafe yang agak unik. Kafe Janji Manis. Shila tersenyum membaca nama kafe itu dan tetap mengekor di belakang Arga.
"Kita harus ketemu sama manajernya, Om," ucap Shila lembut. Ia agak kesusahan mengikuti langkah kaki Arga yang agak panjang itu. Maklum, Arag itu tinggi sekali. Mungkin tinggi badanya kalau di ukur sekitar seratus delapan puluh senti meter. Sedangkan dirinya hanya memiliki tinggi sekitar seratus lima puluh senti meter saja. Sampai dulu, Shila selalu di panggil "Hei semampai! Semeter tak sampai!" Masih terngiang gelak tawa para teman -temannya itu mmebuat Shila insecure pada dirinya sendiri. Ini termasuk pembullyan kan? Membuat korban menjadi tidak percaya diri dan ada rasa takut yang berlebihan.
"Hmm ... " Arga hanay menjawab singkat seperti itu. Ia tidak mau banya berkomentar. Arga langsung berbincang sebenatr pda satpam dan satpam itu menunjukkan arah jalan ke dalam.
Arga nampak serius sekali dan mengucapkan terima kasih lalu menoleh ke arah belakang enatap Shila yang masih berdiri di belakang Arga.
"Udah siap?" tanya Arga tiba -tiba.
"Siap? Siap apa Om?" tanya Shila baru sadar yang tidak paham dengan maksud Arga.
"Dasar gadis bodoh. Katanya mau kerja? Gimana sih?" tanya Arga kesal.
"Iya mau, Om," jawab Shila cepat.
"Ya udah ayo ..." titah Arga yang sudah melanjutkan jalan masuk ke dalam lalu naik ke atas menuju lantai dua.
Jantung Shila semakin berdegup dengan keras. Rasanya tak karuan. Dadanya bergemuruh.
Shila nampak menarik napas beberapa kali untuk menenangkan jantungnay yang semakin terasa berlari -larian. Ini kebiasaan buruk Shila setiap akan melamar kerja. Mana hari ini ia tak membawa apa -apa. Tas yang ia bawa waktu itu tak di bawa oleh Arga saat menolong Shila.
Arga berhenti di depan ruangan yang cukup besar dan tertutup. Ruangan itu bertuliskan ruang manajer. Arag mengetuk pelan dan ada suara yang menyuruhnya masuk.
"Masuk!" titah seseorang daridalam ruangan itu dan jelas suara orang itu adalah suara laki -laki.
Arga membuka pintu dan terkejut melihat siapa yang duduk di balik meja dengan papan nama manajer di atas meja kerjanya.
"Moreno?" teriak Arga tak percaya ia bisa bertemu lagi dengan sahabatnya setelah berpisah lama sekali. Mereka kehilangan kontak setelah Moreno pndah ke luar negeri bersama keluarganya.
"Arga?! Ya ampun Ga? Apa kabar?" Moreno langsung berdiridan menghampiri Arga.
Keduanya berpelukan karena memnag sudah lama tak bersua.
"Ada apa ini? Kok tahu kalau aku disini?" tanya Moreno masih tak percaya.
"Eum ... Ini kebetulan banget ya. Bukan snegaja." Arga menjelaskan agar tidak salah paham.
Arga menoleh ke arah Shila yang terdiam dan menikmati kebahagiaan kedua sahabat itu.
"Ini adek aku mau kerja di sini. Bisa gak? Jadi pelayan gak apa -apa. Soalnya ijasahnya gak ada, hilang di curi orang." Arga menjelaskan sangat detail dengan bumbu kebohongan sedikit.
Moreno menatap Shila dan emnagngguk setuju. Shila sangat cantik, parasnya mempesona. Kalau hanya menjadi seorang pelayan tentu saja di terima. ugas pelayan itu hanya melayani konsumen yang datang dengan senyum, suara halus dan ramah. Shila sangat cocok.
"Eitss ... Tunggu dulu. Ini adek kamu? Beneran adek? Bukannya kamu gak punya adek? Kamu anak semata wayang kan, Ga?" tanya Moreno masihbelum bisa percaya.
"Ceritanya panjang, Reno. Intinya dia di terima gak kerja di sini?" tanya Arga pada Reno.
"Tentu saja. Mulai besok langusng bisa kerja. Mulai pukul tujuh pagi sampai pukul lima sore, itu untuk shift pagi, dan shift kedua mulai jam satu siang sampai jam sepuluh malam. Untuk weekend dan hari libur, kita ada lembur untuk masing -masing shif tiga jam, dengan gaji di bayar langsung," jelas Moreno.
Shila mengangguk pelan. Smeoga saja ia betah berada di sini. Semoga saja tidak ada orang iseng yang mengganggu dan tidak menyukai Shila hanya karena takut tersaingi. Shila lelah dengan keadaan seperti itu.
"Kalau gitu, makasih Ren. Kayaknya aku sama Shila harus pamit dulu. Besok dia masuk jam tujuh pagi. soalnya aku mau kerja malam," jelas Arga pada Moreno.
"Oke Ga. Gak apa -apa. Santai saja. Ini baju seragamnya. Ini buat gantinya," jelas Reno yang mengambil satu kaos sebagai seragam pelayan di Kafe ini.
Arga sudah pamit pada Reno. Ia pulang ke kos bersama Shila. Rasanya lelah sekali. Apalagi semalam, Aragtidak bsia tidur karena harus menjaga Shila yang ternyata tidak kenapa -kenapa.