Sidney memandangi tubuh yang terbaring tenang. Bragy seperti sedang tidur nyenyak. Dilehernya ada semacam penyangga. Selang infus dan kateter juga terlihat berada ditubuhnya. Menurut papa Azka, Bragy memang sengaja ditidurkan. Agar tidak banyak bergerak. Karena ada benturan dikepala kemarin.
Tubuhnya sebagian masih dibalut. Namun disana sini masih tampak luka bakar yang mulai mengering. Wajar karena peristiwa itu masih lima hari yang lalu. Beruntung Sidney masih menyimpan surat nikah mereka. Sehingga ia bisa dengan mudah mendapatkan visa kemari. Dibantu juga oleh mertuanya.
Sidney menggenggam tangan Bragy, sudah delapan tahun ia tak pernah menyentuh jemari itu. Dengan penuh rasa sayang Ia mencium punggung tangan Bragy. Ia tidak pernah menginginkan hal ini. Ketakutannya akan kecelakaan di sirkuit lah yang membuatnya selalu melarang pria itu bertarung di arena balap.
Seperti kebiasaannya lima hari terakhir, Sidney mengeluarkan kalung rosario dari tasnya dan mulai berdoa. Tempat ini sangat sunyi. Membuat ia bisa berdoa dengan khusuk. Hanya itu yang bisa dilakukan saat ini. Selama perjalanan ia sudah melakukannya. Beruntung kekuarga mertuanya membelikan tiket di kelas eksekutif. Sehingga ia bisa beristirahat juga. Doanya juga masih sama. Semoga pria terkasih ini lekas sadar dan segera sembuh. Ia berjanji bila Bragy sembuh, maka ia akan mengalah dan semua akan kembali seperti dulu.
***
Pagi itu di hotel
Bragy keluar dari kamar hotel dengan tidak bersemangat. Tadi malam ia tidak bisa tidur. Sebenarnya ia sudah meminta dokter pribadi yang disediakan tim untuk memberinya obat tidur. Namun dokter menolak dengan alasan besok akan diadakan test urine. Jadi ia tidak boleh mengkonsumsi obat tersebut.
Bragy memutuskan sarapan di restoran bersama seluruh kru. Tak lama Senja keluar kamar dari kamarnya dan mengikuti kakak sepupunya itu menyusuri lorong menuju lift.
"Kamu ada telfon Sidney Nja?"
"Ada mas, barusan. Hari ini mbak Idne ulang tahun kan? Mas udah?"
"Dia nggak akan angkat. Percuma" jawab Bragy kesal.
"Tapi mas udah kirim bunga kan seperti biasa?"
"Udah, gue juga udah minta mama buatkan kue ulang tahun kayak biasanya"
"Jangan lelah mas. Dicoba aja terus" Senja mencoba memberi semangat.
Bragy hanya diam dan meneruskan langkahnya. Seluruh anggota tim sudah berkumpul di restaurant. Mereka semua memulai sarapan. Senja melihat Bragy memaksakan diri menghabiskan sarapannya.
"Mas kenapa? Kayak nggak konsen gitu"
"Nggak tahu Nja, udah berapa hari ini. Ingat Sidney mau ulang tahun"
"Ya udah, abis ini mas pulang dulu. Coba aja ngomong lagi. Aku tahu dia masih suka sama mas. Buktinya udah delapan tahun ini dia masih sendirian terus. Semua yang deketin dia ditolak"
Bragy hanya mengangguk namun enggan menjawab.
Pagi itu di Paddock tim mc laren
Bragy mengikuti brifieng terakhir sebelum memasuki mobilnya. Ia sudah mengenakan pakaian balap. Ditangannya juga sudah ada helm yang akan digunakannya. Selesai semua ia mulai menstart mobil dan melaju ke arena sirkuit. Bragy percaya mobilnya aman dibawah kendali. Para teknisi yang mendampingi pasti sudah double crosscheck.
Berusaha mengumpulkan konsentrasi dengan berdoa, namun dalam hati Bragy tetap merasa ada sesuatu yang mengganjal. Teringat akan mimpi mimpi yang menghantuinya. Bahwa ia akan tertidur dalam waktu yang lama. Bragy berusaha mengenyahkan pikirannya. Saat start ia akan berada pada posisi ketiga. Cukup jauh dari rekan se timnya Antonio Mendez yang berada pada posisi start enam.
Awalnya semua berjalan lancar, hingga keputaran duapuluh tiga. Tiba tiba mobil yang dikendarai Bragy mengeluarkan asap.
***
Sidney membetulkan letak selimut suaminya. Kemudian seperti biasa ia mengecup kening Bragy. Sudah seminggu ia disini. Ijin dari pihak rumah sakit tempatnya bekerja tinggal seminggu lagi. Sementara kata papa minimal suaminya harus ditidurkan selama dua bulan. Karena dikhawatirkan goncangan akan menimbulkan trauma baru pada batang otak.
Sidney memejamkan mata. Saat bersandar di sofa. Hanya tinggal ia, Senja dan ibu mertuanya disini. Semua sudah kembali ke Jakarta. Mereka bergantian untuk menjaga. Terbayang kembali saat dimana mereka memulai pertengkaran yang tak ada habisnya
Flashback
Sore itu di dalam mobil setelah mereka selesai memeriksakan kandungan Sidney
"Ne, berhenti kuliah kenapa sih? Kamu kan lagi hamil gede?"
"Trus, supaya aku jadi ibu ibu berdaster di rumah maksud kamu?"
"Bukan gitu, bentar lagi kan melahirkan, baiknya kamu di rumah aja. Kasihan badan kamu. Kan bisa ambil cuti. Aku kan gak bisa terus terusan disamping kamu. Jangan keras kepala banget kenapa sih dibilangin suami"
"Dari dulu kan kamu tahu aku mau jadi dokter. Jangan egois dong Gy buat ngehalangin aku. Kehamilan bukan halangan untuk seorang perempuan melanjutkan pendidikan. Aku aja nggak pernah minta kamu berhenti balap. Padahal kamu tahu kan aku nggak suka"
"Kaki kamu udah bengkak gitu kan Ne?" Bragy tetap berusaha membujuk istrinya.
"Kamu ngelarang aku karena sayang sama aku atau karena Arga sering deketin aku dan kamu cemburu. Udah deh Gy, aku lagi hamil anak kamu. Sempet sempetnya kamu masih cemburu sama orang"
"Apa kamu nggak ingat waktu kita menikah dia bisik apa? Kutunggu jandamu! Apa aku harus mengingatkan itu terus?" Suara Bragy sudah mulai meninggi.
"Cemburu kamu kebangetan tahu nggak. Aku bukan perempuan murahan yang masih cari cowok lain sementara udah punya suami"
Bragy diam mendengar kalimat terakhirku. Aku juga memilih memalingkan wajahku. Namun tiba tiba aku berteriak
"Gy, iu ada yang jual.buah jamblang. Balik yuk. Udah lama aku kepengen" Bragy yang tengah fokus menyetir kaget mendengar teriakanku. Namun tak urung dia berbalik arah.
Sayangnya tiba tiba ada seorang pemuda yang menyalib mobil kami dari belakang. Bragy kaget dan membanting stir ke kanan. Namun ternyata dari kiri ada motor yang juga melaju kencang dan akhirnya menabrak sisi kiri mobil tempatku duduk. Dan aku tidak sadar lagi setelah benturan tersebut.
Aku tersadar setelah berada di rumah sakit. Namun perutku sudah rata. Aku melihat papa berada disisi kananku sedang menggenggam erat jemariku.
"Pa" tanyaku
Papa tersenyum sedih. Tanpa bicarapun aku tahu apa yang telah terjadi. Aku menangis keras begitu mengetahui bahwa bayi, yang menjadi alasan pernikahan kami sudah tidak ada lagi.
"Sudah,...sudah" bisik papa ditelingaku sambil mencium ubun ubunku.
"Gy mana?" Tanyaku
"Sudah berangkat, dia ada jadwal pertandingan di Sao Paolo kan?" Jawab papi.
Seketika amarahku meledak.
"Dia bikin Ne hamil, lalu dia tinggallin Ne disaat seperti ini? Sekarang Ne masih sakit dan dia nggak peduli? Mana tanggung jawabnya? Dia kira aku apaan sih pa?!" Teriakku.
"Ne, kamu belum pulih sayang. Jangan mikir yang aneh aneh. Dengerin papa"
"Aku butuh dia pa, bukan cuma ngomong di telfon setiap malam. Dia selalu minta aku mengerti tapi dia gimana?" Alubtak bisa menahan tangisku.
Papa kembali memeluk kepalaku. Aku memang sedikit lebih mudah emosi dibanding kembaranku Ceci. Terutama pada hal menyangkut Bragy.
Ya kami menikah karena aku hamil duluan. Saat itu aku tahu kalau papa sangat kecewa atas pernikahanku. Papa adalah pria pendukung wanita berkarier. Jadi jelas ia sedih ketika aku harus hamil ditengah masa kuliahku. Untuk itulah aku ngotot terus kuliah walau sedang hamil besar. Salah satunya untuk menyenangkan papa. Sosok yang selama ini sangat dekat denganku.
***
"Mbak Idne? Kok bengong?"
Suara Senja menghentikan lamunanku.
"Ya Nja? Baru datang?"
"Iya mbak, tante Celia minta aku nemenin mbak disini."
"Sini duduk" jawabku sambil menggeser bokongku. Senja lantas duduk disampingku dan menyerahkan sekotak roti. Aku suka pada sepupu suamiku yang satu ini. Orangnya terkesan cuek tapi sebenarnya sangat perhatian. Sama persis dengan mamanya Tante Saras. Dia juga yang selalu memberikan kabar tentang Bragy selama ini.
"Gimana keadaan mas mbak?"
"Masih sama. Kamu kapan balik ke Jakarta?"
"Belum lah, lagian nanti kalau mbak atau tante Cel tepar siapa yang gantiin jaga mas?"
Aku tersenyum mendengar jawabannya. Ya, saat ini aku juga sudah mulai letih. Mengingat aku tidak melakukan kegiatan apa apa. Hanya bolak balik dari hotel ke rumah sakit. Kemudian mencoba mengerti bahasa inggris para dokter dengan logat spanyol yang kental. Walau aku juga dokter masalah saraf dan tulang bukanlah bidangku. Aku justru akhirnya banyak berkonsultasi dengan mbak Chacha. Kakak tertua suamiku yang juga berprofesi sama.
"Mbak udah minum vitamin yang kemarin dititipin mama?" Tanya Senja lagi mengagetkanku lagi. Ya kemarin Tante Saras mengirimkan vitamin dan juga ramuan khas tiongkok yang harus kurebus. Namun sampai sekarang aku tidak punya waktu. Akhirnya aku menggeleng.
"Ya udah, aku cari slow cooker dulu mbak di toko yang jual bahan makanan asia. Nanti aku masakin ramuannya di hotel. Buat jaga stamina mbak. Tapi vitaminnya diminum sekarang ya. Kalau mbak drop gimana mau jaga mas Bragy?" Aku hanya mengangguk lemah.
Sepeninggal Senja aku meminum vitamin yang diberikan tante Saras. Kemudian kembali mendekati ranjang Bragy. Ia tampak sangat tenang. Kubelai tangannya yang halus. Aku tersenyum, sudah lama aku tidak melakukan ini. Tapi aku tahu kalau dia suka. Perhatianku tertuju pada dibagian dalam lengannya. Ada namaku yang tertulis dengan huruf latin cantik. Aku tidak tahu kalau ia menorehkan namaku lewat tattonya.
Terlalu lama waktu yang kubuang hanya untuk bersedih karena kehilangan. Setelah kehilangan putri kami. Hubunganku dan Bragy tidak pernah kembali. Ia sibuk dengan dunia balapnya dan aku dengan kuliahku. Mengejar segala yang dulu tertinggal. Aku yang keras kepala selalu menolak kehadirannya. Entah kenapa ketika itu aku merasa bahwa semua adalah salahnya.
Salahnya ketika aku harus hamil pada usia muda. Salahnya juga ketika aku harus menikah karena tidak ingin orang tua malu. Kesalahan itu dilanjutkan dengan pertengkaran yang tidak ada habisnya. Akhirnya ditutup oleh keguguran yang kualami pada saat usia kehamilanku berusia enam bulan. Menyakitkan!
Tapi kini semua berubah. Kecelakaan itu membuka kembali cinta yang telah lama kusimpan. Ternyata aku tidak siap kalau ia benar benar meninggalkan aku.