"Baby... ahhhh geli beb..." suara desahan Bianca membuatku turn on.
Kelamaan puasa akibat pengeroyokan membuatku h***y melihat Bianca yang datang ke kantor dengan baju supet duper seksinya tanpa banyak bicara aku langsung mendorongnya ke kursi kerjaku.
"Bentar beb, stttssss jangan berisik nanti sekretarisku dengar lagi," dia tersenyum genit dan semakin membuka pahanya, pengen sih langsung masuk tapi gila aja make out di kantor, kalau ketahuan bisa-bisa cap sebagai penjahat kelamin benar-benar melekat di diriku. Jadi sementara main diluar dulu sampai waktu istirahat habis. Hihihi kapan lagi bisa lihat cewek seseksi Bianca menggelinjang senang akibat permainan tanganku.
"Alexander.... upssss," aku menoleh ke arah pintu dan melihat nenek lampir sedang menatapku dan Bianca.
"Baby... kok pintunya nggak kamu kunci sih," rengek Bianca dengan nafas ngos-ngosan, aku menutup paha Bianca dan berdiri menutupi badan setengah bungil pacarku ini.
"Kalau masuk ketuk dulu napa," kataku jutek, nenek lampir mengeluarkan senyum angkuhnya dan duduk disofa.
"Lanjutkan aja, kapan lagi nonton bokep secara live" balasnya, sial! Dikiranya gue tontonan gratis apa.
"Kamu pulang dulu, malam aku singgah ke apartemen," aku mengambil jaket Bianca dan mendorongnya keluar dari ruanganku, aku melihat nenek lampir sibuk merapikan kukunya sedangkan Bianca menatapnya dengan tatapan permusuhan.
"Tumben amat lo datang ke kantor gue, kesambet di mana?" aku duduk didepannya dan menggulung tangan kemejaku.
"Nggak sih, tadi gue lewat terus dengar desahan-desahan gitu, gue kira lo lagi nonton bokep rencana pengen gabung, eh ternyata lo sendiri pelakunya," buset, nenek lampir kok bisa-bisanya segamblang ini berbicara tentang s*x, sedangkan dulu. Jangankan bicara tentang s*x, ciuman saja kami belum pernah eh pernah deh sekali itupun sebelum kami putus dan setelah menciumnya yang aku dapat tamparan di pipi dan juga tendangan di juniorku, gila nggak efek dari aku menciumnya.
Bayangkan ya delapan bulan pacaran kami sama sekali belum pernah ciuman, paling jauh hanya pegangan tangan, jadi jangan salahkan prince charming ini sedikit jahat dan berselingkuh di belakangnya, bibir ini rasanya kering kerontang kalau tidak merasakan bibir wanita.
"Nggak asyik, gue kira bakal ada tayangan live," dia berdiri dan mengibaskan rambut panjangnya, etdah jadi dia serius datang cuma mau melihatku sedang bersama cewek-cewek.
Makin aneh tuh orang.
Tadi itu hanya sedikit keanehan yang ditunjukkan nenek lampir, beberapa hari ini biasanya dia selalu menghindariku. Bertemuku saja kalau ada meeting atau pertemuan dengan klien, tapi semenjak tadi pagi, dia terlihat santai di dekatku.
"Pak Alexander datang ya ke pesta penyambutan Ibu Ramiana, kita mau ditraktir makan loh, ya kan Bu?" salah satu pegawai wanita mengajakku untuk ikut dalam acara penyambutan Ramiana.
Dia mengangguk dan berjalan mendekatiku, "Lo harus ikut, pesta tidak akan ramai tanpa lo yang terkenal sebagai biang pesta di perusahaan," ujarnya. Aku sih sebenarnya malas hadir, tapi entah kenapa aku langsung mengangguk ketika dia mengajakku.
"Bagussss, sepulang kerja kita langsung ke restoran Greenlight, gue udah booking," balasnya.
****
Benar saja, satu restoran ini di booking nya untuk pesta penyambutannya, semua pegawai hadir dari bawahan hingga petinggi-petinggi kecuali Ramiano yang masih cuti.
"Silakan pesan apapun yang mau kalian makan, tenang aja nggak bakal saya potong gaji... paling bonus doang," aku melihat Ramiana tertawa lantang.
"Yah buk, jangan dong kalau bonus dipotong bagaimana saya makan satu bulan ke depan, terus kalau mau kencan gimana?" protes salah seorang pegawai.
Dia tertawa, mungkin baru kali ini aku melihat tawa tanpa keangkuhan keluar dari mulutnya dan dia terlihat cantik dengan senyumnya itu.
"Bercanda ... ya mana mungkin saya memotong bonus yang merupakan hak pegawai, stsss bisa-bisa saya ditendang dari perusahaan oleh kak Ramiano," bisiknya pelan, semua orang tertawa.
Aku hanya tersenyum dan kembali menatapnya. Dia terlihat lepas seakan tanpa beban, sangat berbeda ketika dia bertindak sebagai pimpinan.
"Panggil aja Ana jangan Ibu, saya belum terlalu tua," dia titak berhenti mengoceh, aku tahu dia sedikit mabuk setelah para petinggi merecokinya dengan minuman keras.
"Ana sudah, jangan minum lagi," kataku ketika dia masih menerima tuangan wine ke gelasnya, dia mengacuhkanku dan kembali meminum wine dengan antusias.
Semua orang sibuk dengan makanannya, sedangkan Ramiana sibuk menerima wine yang dituangkan Pak Joko. Komisaris Altamirano Group, Pak Joko terkenal genit walau usianya sudah tidak muda, aku sudah mendengar cerita bagaimana dia meniduri pegawai baru dan setelah mendapat apa yang diinginkan dengan tidak berperasaan dia memecat pegawai itu dan aku tahu dari tatapannya ke tubuh Ramiana, dia sangat ingin menyentuh Ramiana saat ini juga dan membuatnya mabuk adalah langkah awal dari rencananya.
"Pak, bagi saya wine nya," pintaku, Pak Joko menatapku sebal dan menuangkan sedikit wine ke gelasku, lalu dia kembali sibuk menuangkan wine ke gelas milik Ramiana. Ramiana menghembuskan napasnya dan kembali meminumnya, matanya sudah memerah dan dia memegang kepalanya.
Ini tidak bisa dibiarkan, walau Ramiana menyebalkan dan suka mencari masalah denganku, tapi aku tidak rela saja masa depannya dihancurkan lelaki tua bandot ini, aku harus mencari ide agar bisa membawa Ramiana keluar dari restoran ini tanpa sepengetahuan pegawai lainnya.
Aku mengeluarkan ponselku dan menghubungi nomor Pak Joko, aku sengaja memprivatekan agar dia tidak tau siapa yang menghubunginya, dan benar saja setelah aku menghubunginya dengan gerutuan dia membawa ponselnya keluar dari ruang VVIP yang kami tempati, aku langsung bergegas mendekati Ramiana dan menariknya keluar dari restoran.
"Hahahaha Alexander Bratawijaya... huekkkkkk" persetan dia memuntahkan segala isi perutnya dibajuku, yang terpenting aku menjauhkannya dari bandot tua itu.
Aku mendudukkan Ramiana yang tak sadarkan diri dikursi penumpang mobilku, aku melihatnya sejenak. Membawanya pulang ke rumahnya bisa-bisa Ramiano membunuhku, tapi membawa ke apartemen milikku juga nggak mungkin bisa-bisa Bunda membunuhku, satu-satunya jalan ya harus membawanya ke hotel. Tanpa pikir panjang aku langsung membawanya ke salah satu hotel bintang lima tidak jauh dari restoran.
****
Dengan susah payah aku membawa Ana yang sudah nggak sadarkan diri, semua mata memandang kami. Aku hanya menunduk saking malunya membawa wanita mabuk, pasti mereka mengira akulah yang membuat Ramiana semabuk ini.
"Lo benar-benar menguji gue Ana, lagian lo makan apasih berat banget," gerutuku, dengan tanpa ampun aku melemparnya ke atas ranjang, dia menggeliat dan tiba-tiba dia membuka matanya.
"Panasssss," ujarnya, lalu dia membuka kancing bajunya satu persatu. Eh eh tunggu dulu, jangan bilang dia mau b***l di depanku.
"Ana tunggu dulu, jangan buka...." aku berusaha menahannya, dia menghempaskan tanganku.
"Apaan sih kak, aku ngantuk dan di sini panas banget... keluar gih sana biarin aku tidur..." hah kakak? Apa dia pikir aku Ramiano makanya dia santai membuka bajunya.
"Ana," aku kembali menahan tangannya yang hendak membuka tanktop putih miliknya, dia semakin beringas dan menendangku jatuh ke lantai. Aku langsung berdiri dan melihatnya kini sudah tidak memakai baju hanya Bra yang menutupi payudaranya, gila mamen montok abis.
Astaga Alexander, Ramiana itu sedang mabuk jangan terpancing!.
"Kok masih panas ya kak," gerutunya lagi dan kali ini tangannya siap-siap membuka celana bahannya, aku yang hendak menahannya mundur beberapa langkah setelah merasakan juniorku tiba-tiba berontak. Aku masih menatapnya yang kembali tidur hanya mengenakan Bra dan Underware.
Ya Tuhan malam ini akan sangat sangat panjang dan panas. Aku kemudian mengambil sabun yang tersimpan di laci kemudian masuk ke dalam kamar mandi.
****
Pagi harinya.
Aku sengaja tidur di sofa, walau aku b******n. Aku tidak akan pernah menyentuh wanita yang sedang tidak sadar seperti Ramiana, meski aku akui dia telah membuat juniorku bangun dengan tidur tanpa baju.
"Hoammmm," aku melihatnya bangun, sepertinya dia belum sadar kalau dia sedang berada di hotel bersamaku. Entah kenapa ide gila langsung menyambar di otakku, kapan lagi membuatnya uring-uringan.
"Pagi honey," sapaku ramah, dia seperti kaget melihatku ditambah aku kini hanya memakai celana kerjaku karena bajuku kena muntahannya tadi malam, pasti dia berpikir aneh-aneh.
"Huwaaaaaaa kok lo di kamar gue dan kenapa lo nggak pake baju," teriaknya histeris, aku mendekatinya dan menyentuh pipinya. Dia mundur ke belakang dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, huh sekarang saja baru ditutupi, tadi malam lupa ya setiap aku mau menyelimuti dia dengan beringasnya menendang selimut dan berkata 'panas... panas' yang ada aku kepanasan mengurus cewek mabuk setengah b***l.
"Lupa ya.. tadi malamkan kita...." aku mengeluarkan wajah mesumku, dia menggeleng dan berusaha mengingat kejadian tadi malam, lucu banget dan dia memeriksa seluruh tubuhnya, aku semakin geli melihatnya.
"Lo perkosa gue?" tanyanya tanpa tendeng aling-aling, buset gila amat tuduhannya.
"Nggak kok, kita ngelakuin suka sama suka... lo bilang penasaran rasanya tidur sama gue, ya udah mana ada kucing nolak ikan, lo nawarin ya gue embat dong," jawabku asal. Dia menatapku benci, kemudian aku merasakan panas di pipiku.
Plakkkkkk
Gilaaa tenaganya kuat amat, aku melihatnya menitikkan airmata. Sepertinya aku keterlaluan ya.
"Lo b******n Lex... lo b******n!" dia berdiri kemudian mengambil bajunya yang berserakan di lantai dan masuk ke dalam kamar mandi, aku yang mau jujur kembali diam setelah mendengar jeritannya dari kamar mandi.
"Ana, buka pintunya... maaf gue nggak maksud ..." pintu kamar mandi terbuka, airmatanya sudah mengering. Dia kemudian tersenyum angkuh khas miliknya.
"Lupakan, anggap saja ini tak pernah terjadi... lo nggak perlu tanggung jawab.." hah apa maksudnya coba, siapa yang mau tanggung jawab, lah kami nggak ngapa-ngapain kok.
"Ana, gue...."
"Sttttsss tolong jangan sampai ada yang tahu, termasuk kak Ramiano" dia kemudian meninggalkan aku yang masih berdiri bingung.
Sepertinya aku masuk dalam permainanku sendiri, huwaaaa kalau tahu dia nggak minta tanggung jawab, mending tadi malam aku cicipi sedikit, eh.
***