Sasha bangun dengan punggung yang sakit. Ternyata Ismail sudah tidak ada di kamar. Sasha langsung turun dari dipan dan mencari Ismail. Tapi, tidak ada siapapun di dalam rumah. Sasha melihat meja dengan tutup makanan di atasnya. Sasha mengusap perutnya yang lapar. Ia pun membuka tutup makanan itu dan kecewa.
Hanya ada tahu tempe dan nasi. Sasha menggigit bibir bawahnya kencang. Menahan tangis karena lapar. Sasha menutup makanan itu lagi dan hendak kembali ke kamar. Tapi, perutnya berontak ingin di isi.
"Cacing sialan!" Umpat Sasha dan langsung duduk di kursi. Mengambil nasi dan tahu tempe. Ia makan sambil menggerutu.
"Bu, ibu bisa makan tahu tempe juga?" Tanya Yanti. Yanti ketularan Ismail yang memanggil Sasha dengan sebutan ibu. Sasha yang kaget langsung tersedak. Ia bingung mencari air minum. Yanti buru-buru memberikan segelas air dan di teguk dengan cepat oleh Sasha.
"Eh... Air apa ini?" Tanya Sasha merasa aneh dengan bau dan rasanya.
"Itu air sumur yang di masak, Bu."
"Hah? Air sumur?"
"Iya, kenapa, Bu?"
"Astaga... Masih tanya kenapa? Aku... Hah... Sudahlah, di mana Ismail?" Tanya Sasha mengalihkan pembicaraan.
"Di... Di kebun."
"Antar aku ke sana."
"Tapi, jauh Bu, ibu di sini saja biar nggak capek." Sasha mendengus.
"Aku mau ke sana, di mana ada Mail harus ada saya. Nanti dia macem-macem lagi." Sasha langsung keluar. Tanpa sepengetahuan Sasha Yanti tersenyum. Ternyata istri nya bang Mail. Cemburuan. Hihihi.
******
Sasha ke kebun hanya pakai celana panjang dan kaos ketat. Semua orang yang melihat Sasha langsung bengong. Baru kali ini melihat perempuan secantik itu. Apalagi bodynya aduhai dan tinggi semampai.
Walau wajahnya jutek abis, tapi mereka tak peduli. Ismail heran melihat temannya yang terus melihat ke arah jalan. Ismail akhirnya ikut melihat juga ke arah yang sama. Dan langsung terkejut. Pantas saja temannya itu kaya sapi ompong. Sampai eces di mana-mana.
Ismail yang kesal langsung berjalan ke arah Sasha dan Yanti. Ismail menghadang Sasha.
"Ismail, kamu pergi kok nggak bilang-bilang sih?" Tanya Sasha kesal. Tapi, Ismail jauh lebih kesal. Kalau di kota, bodo amat Sasha berpenampilan seperti apa juga. Ini di kampung. Pedalaman lagi. Yang jarang ada tv dan majalah. Hp saja cuma beberapa orang yang punya.
Melihat wanita seksi dan cantik di depan mereka seperti ini sama saja mengundang marabahaya. Ismail melepas kemejanya dan langsung memakainya ke tubuh Sasha. Sasha bengong. Lalu tak lupa topi hitam yang Ismail pakai.
"Ini, maksudnya apa?" Tanya Sasha bingung.
"Bu, ini bukan di kota. Jangan pernah berpakaian seperti itu lagi. Ibu mau di perkosa di sini?" Sasha langsung begidik dan tanpa sadar memeluk lengan Ismail.
"Dekat saya aja, jangan jauh-jauh," ucap Mail. Sasha langsung mengangguk dan melirik pria-pria yang mulai tersenyum mengerikan.
*****
Sasha tengah mencoba mencabut singkong. Tapi, dari tadi tidak ada satupun yang tercabut. Emak dan yang lainya sampai tertawa. Sasha yang kesal akhirnya menyerah. Tapi, Ismail melarang Sasha duduk.
"Sini, aku bantu." Tangan Sasha di genggam oleh Ismail. Mereka mencoba menariknya bersama. "Pegang ini, kita tarik setelah hitungan tiga, oke." Sasha mengangguk.
"Satu...dua ...tiga ...tarik!" Mereka berdua menariknya dengan kuat dan akhirnya tercabut. Sasha girang bukan main.
"Wah ... Tercabut...tercabut... Mak... Sasha bisa!" Teriaknya. Emak mengacungkan jempolnya. Ismail tersenyum senang melihat Sasha yang gembira.
"Aku mau cabut lagi." Ismail menyingkir. Mempersilahkan. "Eh, mau ke mana? Bantuin lagi, enak aja." Ismail tertawa dan mengangguk.
Merekapun berhasil mencabut semua singkong yang siap di jual ke pasar.
Sasha nampak asik melihat emak dan Yanti memotong singkong dari akarnya. Lalu Mail dan Yanto memasukan singkong-singkong itu ke karung. Mereka timbang dan ikat.
Sasha takjub melihat kerja sama keluarga ini. Keren. Walau panas mereka tak peduli. Sasha pun tak lagi jijik saat duduk di tanah. Walau celananya harus kotor.
"Nah, udah selesai. Sekarang kita ambil sayur kangkung." Sasha melongo.
******
Semua sudah siap di angkut di sepeda ontel. Sepeda tua peninggalan almarhum sang bapak. Sasha melongo. Barang sebanyak itu hanya di angkut dengan satu sepeda? Bagaimana bisa?
Ismail dan Yanto selesai mengikat semuanya. Mereka pun pamit kepada emak dan Yanti. Yang pergi ke pasar hanya laki-laki. Karena jaraknya yang jauh dan terjal.
"Aku ikut." Semua orang tersentak.
"Jangan, neng, bahaya kalau neng ikut."
"Bahaya kenapa?"
"Neng, pasarnya itu jauh sekali. Dan mereka itu jalan kaki neng. Pulangnya baru naik sepeda kalau barang dagangan laku semua.
"Tapi, aku mau lihat pasarnya, nggak apa-apa kok jalan."
"Bu Sasha, serius?"
"Seriuslah."
Akhirnya merekapun membiarkan Sasha ikut ke pasar. Sepanjang jalan yang ngobrol hanya Yanto dan Ismail. Sasha hanya diam dan melihat pemandangan yang indah. Udara yang sejuk walau terik matahari menyinari.
"Aduh."
"Bu, ibu nggak Apa?" Ismail panik saat melihat Sasha tersandung batu. Ismail langsung jongkok di hadapan Sasha dan memeriksa kakinya. Tidak ada yang luka. Syukurlah.
"Sini, pegang tangan saya. Biar ibu nggak kesandung lagi." Dengan ragu Sasha menggenggam jemari Ismail. Yanto hanya melirik dan menggeleng.
Sasha mulai lelah. Karena sudah sejam mereka berjalan. Tapi pasar tak juga nampak. Ismail memberikan air minum.
"Minum, Bu." Sasha menatap botol air itu. Pasti air sumur lagi. Merasakan yang tadi pagi aja mau muntah. Ini di kasih lagi. Sasha menolak.
"Nggak haus?" Tanya Mail.
"Nggak, ayo buruan. Aku laper." Sasha berjalan lebih dulu di depan.
"Nggak apa-apa itu?" Tanya Yanto.
"Biarkan saja. Kan maunya ini," jawab Mail.
******
Mereka sampai di pasar akhirnya. Sasha melihat ramai orang dan banyak barang dagangan. Tapi, Sasha tidak melihat ada yang kasih uang. Mereka malah terkesan barter. Ada sih beberapa yang pakai uang. Dan itu sangat di hormati. Padahal cuma 5000 sepertinya.
"Sasha menoleh ke arah Ismail dan Yanto. Mereka nampak sedang menggelar dagangannya. Sasha melongo. Jadi mereka kan menjajakan dagangannya sendiri. Sasha kira mereka sudah punya bos yang siap menimbang dan bayar. Kalau seperti ini berapa lama mereka akan di pasar?
"Bu, duduk sini." Sasha melihat bangku yang terbuat dari kayu. Sasha pun duduk. Dan mulai ada yang menghampiri mereka. Sasha senang karena akhirnya ada yang membeli dagangan mereka.
Tapi Sasha melongo saat mereka tak menjualnya dengan uang. Melainkan menukarnya dengan beras. Sementara si ibu membawa seikat sayur.
"Alhamdulillah, kita dapat beras," ujar Yanto.
"Iya, beras di rumah sudah habis kan?" Sasha tertegun mendengar percakapan mereka.
Begitu susah hidup Mail di kampung?
Tanpa sadar Sasha menggenggam jemari Mail. Membuat Ismail tersentak dan menatap Sasha.
"Kenapa?"
"Nggak."
Ismail akhirnya hanya membiarkan saja tangannya di genggam dan melanjutkan obrolannya.