Part 18

1163 Words
Azra sudah selesai mengulek bumbu rujak. Buah-buahan yang tadinya utuh itu juga sudah selesai diiris oleh Jessie. Azra menuangkan bumbu rujak itu ke atas buah-buahan untuk rujak tersebut. Lalu ia membaginya sesuai porsi untuk ketiga orang temannya yang berada di sana. "Yeay! Udah jadi rujaknya! Ayo makan!" "Serbu!" Hans, Azra, Jessie, dan Fathan mulai menyerbu rujak tersebut. Meskipun mereka sudah makan nasi bungkus, akan tetapi rasanya masih saja kurang berkesan jika tidak menambah makanan lagi untuk dimasukkan ke dalam perut mereka.  "Enak nggak bumbu rujaknya?" tanya Azra entah kepada siapa. "Enak kok." jawab Jessie jujur. Memang kalau soal masakan sudah tidak diragukan lagi. Pasti Azra juaranya. "Ih, serius enak?" kata Azra tersenyum senang. "Iya." "Gimana rasanya Kak Jessie?" "Manis gurih gitu rasanya." "Wah, makasih! Kalau Fathan gimana rasanya, Than? Enak nggak?" Azra bertanya kepada Fathan. "Hm." Fathan berdeham. "Hm, apa?" "Hm, enak." "Yeay! Makasih, Fathan! Kalau Hans gimana rasanya, Hans? Pasti jawab enak juga kan?" Azra berbalik kepada Hans. Hans yang tadinya ingin menjawab pertanyaan Azra dengan candaan iseng itu tidak jadi karena Fathan dan Jessie memberi kode untuk Hans agar tidak menjahili Azra. Mereka takut jika Azra marah akan terjadi perang dunia kedua. "Hei, Hans! Gimana rasanya? Enak nggak? Jawab dong jangan diam aja!" Azra menyadarkan Hans. "Nggak en—" Hans menggantungkan perkataannya membuat Azra yang tadinya  memasang wajah bahagia kini menjadi murung namun Hans segara melanjutkan kalimatnya itu, "enakkkkkk banget! Kok lo pintar banget sih buat bumbu rujak beginian?" Seketika itu juga Azra langsung tersenyum lebar mendapat pujian dari Hans, "M-Makasih, Hans." "Sama-sama, Zra." "Eh, guys! Kita belum foto loh! Astaga, ayo foto bareng-bareng!" kata Azra.  "Nah, iya! Masa momen indah begini nggak difoto sih! Ayo lah foto! Gue bawa kamera kok di tas." ujar Hans. Ia memang membawa waist bag kecil untuk ia menaruh kameranya. "Ayo foto, Kak," kata Hans mengajak Jessie dan Fathan. "Hah? Kak?" bingung Fathan. "Kenapa? Kan memang kakak?" cengo Hans. Seketika itu juga Fathan, Jessie, dan Azra sama-sama tertawa membuat Hans nambah tak mengerti dengan keadaan di sekitarnya. "Loh, kok pada ketawa? Lagi open comedy contest apa gimana?" tanya Hans seperti orang bodoh. "Ya ampun, Hans! Umur Hans sama umur Fathan dan Kak Jessie itu sama! Kalian sama-sama kelas 11." Azra menjelaskan. "Hah? Serius mereka kelas 11?" "Iya, Hans. Memang Hans kira mereka kelas berapa?" "Gue kira mereka kelas 12."  "Astaga." Azra menepuk dahinya, "Azra kira Hans udah tahu kalau Fathan sama Kak Jessie kelas 11 sama kayak Hans. Tahu-tahunya belum ya?" "Habisnya gaya Hans sama Jessie pendiam introvert gitu. Gue jadi mikir kalau orang-orang pendiam itu senior karena kebanyakan senior nggak terlalu banyak omong kayak adik kelas." "Masa iya?" "Nggak tahu juga sih, hehe." "Tapi, kalah lo mau manggil gue kakak juga nggak apa-apa sih." bisik Fathan kepada Hans. "Ih, males amat! Orang umur kita samaan kok!" canda Hans terkekeh-kekeh. "Eh, udah ayo foto! Malah ngerumpi." ucap Jessie. "Oh, iya sampai lupa! Ayo lah foto!" Mereka berempat pun mencari spot foto yang menurut mereka bagus. Hans memasang timer di kameranya dan berfoto dengan teman-temannya. Mereka mengeluarkan gaya yang bermacam-macam bentukannya. Azra bergaya seperti bebek karena selalu memanyunkan bibirnya, Hans bergaya dengan mengandalkan peace dua jari, sedangkan Jessie dan Fathan bergaya formal yang terbilang kaku seperti foto KTP. "Fathan, Jessie, jangan kayak foto KTP. Tegang banget! Ayo gaya peace kayak gue!" kata Hans menyarankan mereka berdua. "Gue nggak bisa gaya." "Halah, nggak mungkin!" "Beneran." "Udah jangan malu-malu kucing. Sama gue mah santai aja lah, Boy."  "Fathan memang kayak gitu, Hans. Dia jarang mau foto. Ini aja tumben-tumbennya dia mau foto beginian. Kalau nggak ada kalian pasti dia nggak mau foto." jelas Azra. "Oh, gitu ya. Kenapa nggak diajarin aja? Banyak gaya itu banyak teman tahu!"  "Terlalu banyak teman sampai ngikutin semua gayanya membuat kita jadi lupa dengan diri sendiri." ujar Fathan bijak.  Azra dan Hans bertepuk tangan karena kebijakan perkataan Fathan tersebut.  "Widih, boleh juga itu kata-katanya mantep! Lihat di Google nggak tuh?" "Nggak lah. Emangnya lo yang kalau ujian selalu lihat Google?"  Damn! Hans kena batunya. Ia kemakan omongan sendiri. Niatnya yang tadinya ingin terlihat keren di depan Fathan kini malah membalikkan apa yang ia ekspektasi. Ya, seperti biasa rencana terkadang sering tidak sesuai dengan ekspektasi. Ada kalanya kita harus memikirkan realita dahulu sebelum berekspektasi tinggi. Karena kalau sudah berekspektasi tinggi dan tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan jatuhnya akan jadi seperti ini. Malu sendiri. Sementara itu Jessie selalu menyimak apa yang dikatakan oleh Azra. Hal itu membuatnya menjadi lebih banyak mengenal diri Fathan baik luar dan dalam meskipun hanya sebatas teman.  *** Setelah mereka berempat bersenang-senang di danau kini tibalah saatnya mereka untuk melanjutkan perjalanan mereka. Mereka berempat telah sepakat jika sehabis ini mereka akan melanjutkan perjalanan mereka dengan mengelilingi kota Bandung yang menenangkan hati. Ya, kota Bandung memang merupakan kota yang indah dan nyaman. Selain itu juga kota Bandung memiliki pemandangan indah di setiap jalan yang dapat memanjakan mata. Terlebih lagi angin yang sejuk membuat masyarakat Bandung sangat bersyukur bisa tinggal di kota yang kerap dijuluki sebagai kotanya Dilan dan Milea. Sepanjang perjalanan mereka tak henti-hentinya berceloteh membicarakan apa saja yang ada di sekitarnya. "Hei guys, coba lihat! Di sana ada topeng monyet!" kata Azra antusias. Ia langsung membuka kaca mobil dan melambai-lambaikan tangan ke arah sang hewan. "Ngapain jauh-jauh ngeliat monyet. Kan di samping gue juga mirip." canda Hans yang membuat Azra marah. "Ih, apaan, sih, Hans! Hans ngatain Azra mirip monyet ya?!" geram Azra. "Nggak kok." "Terus itu tadi apa yang Hans bilang?" "Oh, itu mah gue lagi ngelantur doang ngomongnya. Mana mungkin cewek secantik Azra mirip monkey? Yang ada tuh mirip princess!" puji Hans. Azra yang dipuji malah jadi baper sendiri. Pipinya mulai memerah karena pujian dari Hans. Namun senyumnya langsung memudar ketika Hans mengatakan sesuatu kemudian. "Iya princess. Dilihat dari sedotan tapi." timpalnya. "Ih, Hans ngeselin banget sih!" Azra langsung mencubit lengan Hans sampai merah. "Aduh... Duh... Sakit, Zra. Jangan dicubit sakit!" "Salah sendiri ngeselin!" "Biarin aja ngeselin, tapi ngangenin kan?" goda Hans. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Azra membuat Azra jadi geli dan menjambak rambutnya. "Aduh, sakit! Lo mah bukannya romantis malah ngejambak rambut orang, Zra! Padahal gue lagi mau bikin suasana scene romantis malah jadi adegan jambak rambut, huh!"  "Hahaha, makanya jangan main-main sama Azra!" Fathan dan Jessie yang ikut serta berada di dalam mobil itu kini hanya bisa diam menjadi nyamuk diantara perdebatan kisah cinta antara Hans dan Azra. Mereka melihat perdebatan kecil itu melalui kaca tengah mobil. Ya, mau bagaimana lagi. Nasib jomblo memang seperti itu, setiap hari ada saja ke-uwuan manusia di hadapan mereka. Mereka hanya bisa menontonnya dengan khidmat berharap suatu saat nanti bisa merasakan apa yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. 3 jam sudah mobil Fathan mengelilingi kota Bandung bahkan sampai kehabisan bahan bakar. Untung saja ada pombensin di sana. Ya, begitulah double date antara Fathan, Jessie, Hans, dan Azra. Meskipun terbilang sederhana itu sangat membuat mereka bahagia. Ternyata, bahagia itu sederhana, ya. Tidak perlu mahal untuk membuat diri bahagia karena dengan kasih sayang pun kita sudah bisa bahagia. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD