Setelah mereka berempat sudah asik dengan dunia mereka sendiri. Akhirnya mereka berkumpul kembali di dalam satu tikar. Mereka sangat menikmati hari-hari kebersamaan itu. Terlebih lagi dengan Hans dan Azra yang berjoget-joget tidak jelas, mereka merasakan kelelahan. Sedangkan Fathan, Jessie yang menikmati danau mereka terlihat biasa-biasa saja. Ya, karena mereka hanya menikmati keadaan tanpa mengandalkan fisik.
"Aduh, capek Azra, Hans!" adu Azra.
"Gas lagi nggak, Zra? Goyang dumang yuk kita!"
"Ih, gila! Capek tahu!"
"Ternyata orang kayak lo bisa capek juga ya."
"Ya iyalah! Hans pikir Azra apa? Robot? Ih, suka ngarang cerita emang!" Azra menoyor Hans gemas lalu berbalik melihat Jessie dan Fathan yang sama-sama diam, "hei, kalian berdua tadi kemana? Kok nggak ada di sini?"
"Kita berdua ke danau." jawab Jessie.
"Ngapain ke danau? Berenang?"
"Yeee, Tahu Gejrot! Yakali berenang! Lo kata mereka kudanil berenang di sungai!" kata Hans sembari mencubit pipi Azra.
"Ih, sakit tahu! Azra kan cuma nanya doang!"
"Cuma lihat air doang kok." kata Fathan.
"Sama lihat kodok." tambah Jessie. Ia menutup mulutnya tertawa kecil.
Mendengar Jessie berkata demikian, Fathan segera memberikan tatapan sinis ke Jessie seolah memintanya untuk diam soal phobianya dengan hewan yang bernama kodok itu. Fathan benar-benar malu jika mengingatnya. Apalagi kalau sampai Jessie membocorkan hal tersebut kepada Hans. Kalau Azra ia tidak mempermasalahkannya karena sudah kenal sejak kecil. Namun jika Hans, hal itu tidak bisa dibiarkan. Bisa gawat jika Hans tahu Fathan takut dengan kodok!
"Hah? Lihat kodok? Ngapain?" tanya Hans.
"Itu, si Fa—"
"Udah-udah, mendingan kita makan. Semuanya udah pada laper kan?" kata Fathan memotong pembicaraan Jessie.
"Laper dong! Dari tadi pagi belum makan. Cuma minum es jeruk peras doang!" Hans curhat.
"Curhat, Bos?" sindir Azra.
"Iya, Mbak."
"Yaudah ayo makan, nih gue tadi beli empat nasi bungkus dari." Fathan mengeluarkan nasi bungkus dan memberikannya satu persatu kepada Azra, Hans, dan Jessie.
"Wow, nasi bungkus. Udah lama gue nggak makan." seru Hans.
"Sama, gue juga." timpal Jessie.
"Habis makan nasi kita ngerujak yuk!" pinta Azra.
"Wah, ide bagus! Boleh banget tuh!" kata Hans setuju.
"Lo laper, Hans?" tanya Fathan.
"G-Gue?" cengo Hans. Ia bingung dengan Fathan yang bertanya padanya. Padahal kemarin jelas-jelas Fathan bersikap cuek padanya.
"Iya lo."
"Hehe, iya sih. Dari pagi belum makan."
"Nggak usah curhat."
"Eh?"
"Santai, gue nggak gigit kok. Kemarin gue cuma lagi nggak mood ngomong aja. Maaf ya." ujar Fathan.
"Ya ampun, Than! Gue kira lo ngambek sama gue!"
"Nggak kok," Fathan menepuk pundak Hans, "yaudah yuk, makan nasinya nanti kita ngerujak bareng!"
"Oke!"
Mereka berempat melanjutkan kegiatan mengisi perut mereka yang kelaparan. Sesekali juga mereka saling bertukar cerita. Mereka yang tadinya jaga image sekarang perlahan mulai membuka diri mereka dengan berceloteh meskipun ada cerita yang tidak nyambung.
Azra bercerita tentang banyaknya ia menghitung jumlah kendaraan yang lewat di depan rumah, Hans bercerita tentang dirinya yang mempunyai cita-cita agar bisa terbang, Jessie menceritakan sejarahnya kenapa ia pindah sekolah, sementara Fathan malah membahas rumus matematika yang menurutnya susah.
Beragam macam cerita namun mereka menikmatinya dengan nasi bungkus yang Fathan beli di jalan dekat rumahnya.
"Kenyang...." kata Azra saat sudah selesai makan, "ayo kita buat rujaknya!"
"Nanti Zra, belum pada kelar makannya."
"Makanya yang cepat dong makannya! Azra udah nggak sabar nih!"
"Iya-iya sebentar."
Hans, Fathan, dan Jessie mulai mempercepat makan mereka karena Azra yang tidak sabaran meminta untuk membuat rujak.
"Udah selesai nih, yuk buat rujak!"
"Ayo!"
"Je, tolong ambil buah di keranjang itu." Fathan meminta tolong kepada Jessie. Jessie mengangguk lalu mengambil keranjang tersebut.
"Oke."
"Nih, Than."
"Makasih, ya."
"Iya."
"Siapa yang mau ngulek?" tanya Fathan, Azra dan Hans bersamaan mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi.
"Kalian berdua mau ngulek?"
"Iya!"
"Ulekannya cuma satu tapi."
"Yah, gimana dong?" Azra memelas.
"Gimana kalau kita suit aja, Zra! Yang menang bisa ngulek rujak dan yang kalah diam aja."
"Oke setuju."
Azra dan Hans saling berhadapan mereka pun melakukan suit 'gunting batu kertas'.
Dan pada akhirnya Azra kalah dari Hans. Hans menang sampai tiga kali, sedangkan Azra tidak memiliki score sama sekali. Menyedihkan.
"Yah, Azra kalah."
"Berarti gue yang ngulek!" kata Hans senang.
"Yaudah deh nggak apa-apa."
"Ngambek?"
"Nggak kok."
"Dasar Tahu Gejrot!" Hans mencubit pipi Azra gemas.
Hans mulai melakukan ritual menumbuk buah-buahan tersebut untuk dijadikan rujak. Ia mengambil bumbu rujak lalu menuangkannya di atas alas ulekan tersebut dan menumbuknya.
"Aduh, Hans nguleknya yang benar dong! Kacangnya lompat-lompat nih kena mata Azra. Nggak profesional banget sih, Hans!" omel Azra. Sebenarnya ia sangat ingin menumbuk bumbu rujak tersebut namun apa daya dirinya kalah suit dengan Hans.
"Ini udah benar kok, Zra. Lo jangan dekat sini makanya nanti malah kena."
"Ya itu namanya nggak benar, Hans."
"Benar kok."
"Nggak." tegas Azra.
"Benar, Azra."
"Udah ah, sini ulekannya biar Azra aja yang numbuk."
"Nggak mau!"
"Ih, sini, Hans!"
"Kan lo kalah, Zra! Jadi gue yang numbuk."
"Pokoknya sini!"
"Nggak."
"Hans... Udah, Hans. Ngalah aja." kata Jessie kepada Hans diikuti dengan anggukan Fathan yang meminta Hans untuk mengalah dengan Azra. Kalau sudah seperti ini susah untuk melanjutkannya. Malah pusing sendiri jadinya.
"Yaudah deh, nih." kata Hans menyerahkan ulekan tersebut kepada Azra. Mau bagaimana lagi? Predikat "Cewek selalu benar dan cowok selalu salah" akan selalu tertanam sampai kapan pun.
"Huh, dasar cewek!"