BAB 4

1078 Words
Gaun biru muda yang panjang sampai ke mata kaki benar-benar membuatku seperti orang lain, terlihat elegan dan bila semakin lama kupandang bayanganku di cermin, aku semakin salah tingkah. Sejak berpisah dengan kakak, aku tidak pernah lagi mengenakan gaun yang indah seperti ini. Ditambah lagi ... gaunnya sangat mahal. Gaun ini adalah pemberian dari Nisa, ya! Aku telah berhasil menarik minat pembeli dengan menjadi modelnya kemaren malam. Karnanya dia sangat suka dan memberiku hadiah. Sementara sekarang! Aku sedang bersiap ke pesta ulang tahunnya yang ke dua puluh delapan tahun. Semoga saja dengan mengenakan pakaiannya yang indah seperti ini dia akan bahagia. Aamiin .... Aku membuka kotak perhiasan dan memakai kalung emas putih dari hasil jerih payahku sendiri selama hidup sendiri. Aku juga memakai anting emas putih buat menghiasi telingaku. Rambut sengaja aku sanggul ke atas agar terlihat jenjang dan jepitan emas putih sukses memperindah di atasnya. "Astaga! Kau cantik sekali, Nak?" ucap nenek Darmi di belakangku. Aku membalik badan dan menghadap ke arahnya. "Benarkah, Nenek? Syukurlah, akan banyak para pengusaha kaya hadir di sana nanti, dan Nisa sudah mewanti-wanti-ku agar berpenampilan menarik, dia tidak ingin aku terlihat buruk, karna para rekannya di sana akan mengenalku sebagai modelnya, dan bukan sebagai karyawannya. Aneh memang, tapi aku bisa apa?" ucapku malu malu. "Tapi kau memang pantas menjadi modelnya, Nak, wajahmu sangat cantik dan senyummu sangatlah menawan, seandainya saja aku pria, aku pasti sudah tertarik dan merasa jatuh cinta," ucapnya membuatku semakin malu. "Nenek bisa saja," jawabku dan tak lama kemudian tertawa pelan. "Berangkatlah, Nak, jangan khawatirkan soal Alice, biar nenek menginap di sini malam ini, kau berbahagialah dan semoga dapat jodoh yang tampan di sana," ucapnya membuatku terpaku. Bayangan masa lalu lagi lagi menghantui pikiranku, aku teringat betapa malangnya nasib kakakku Ani setelah menikah. "Tidak nenek, Anna tidak mau menikah," ucapku datar. "Tapi kenapa, Sayang? Kau sudah dewasa dan pantas buat menikah," ucapnya dengan penuh kasih sayang. "Anna takut kejadian yang menimpa kakak akan kembali terulang, Nenek. Aku tidak mau berakhir sama seperti kakak, Anna harus hidup buat Alice," ucapku dengan mata berkaca kaca. "Sssttt... Sudahlah, jangan bersedih, rasa traumamu itu pasti akan menghilang seiring berjalannya waktu, tenanglah!" ucap nenek Darmi tak lama kemudian memeluk tubuhku. "Kau benar, Nenek, Anna tidak boleh menangis, nanti riasannya luntur," ucapku berusaha mencairkan suasana. "Kau benar, pergilah," ucap nenek Darmi, pelan. "Baiklah, sampai jumpa, Nenek." "Iya, hati-hati di jalan, Nak," ucapnya setelah mencium keningku penuh kasih sayang. Aku berangkat ke gedung di mana pesta ulang tahun Nisa di selenggarakan. Aku berdiri di pinggir jalan dan mencari kendaraan seperti biasa. Tak berapa lama kemudian, mobil mewah berwarna hitam tengah berhenti di hadapanku. "Hai, Model cantik, masuklah!" perintah seseorang dengan suara jenakanya yang khas. "Rendra!" seruku tidak percaya. "Iya, masuklah!" ucapnya membuatku senang. Aku membuka pintu mobilnya dengan perlahan, setelah memasang sabuk pengaman, Rendra mulai melajukan mobilnya dengan pelan menembus padatnya kendaraan malam. Rendra adalah tunangan Nisa, dia juga sudah seperti saudara sendiri bagiku. Kami bertiga adalah kawan baik. "Kekasih macam apa kau ini? Pujaan hati sedang ulang tahun dan kau malah datang bersama wanita lain?" ucapku menggodanya. "Di situlah masalahnya, Anna. Sebenarnya aku ingin langsung menemuinya dan menciumi bibir tebalnya, aku ingin mencumbunya sambil mengucapkan selamat ulang tahun penuh kasih mesra, tapi ...." "Kenapa?!" tanyaku heran menatap mata Rendra. "Tapi si Nisa bodoh itu justru menyuruhku buat menjemputmu, aku kadang juga merasa heran! Dia cinta tidak sih?! sama aku?!" ucapnya kesal. "Kau yang bodoh, Rendra! Nisa sangat mencintaimu, masak kau tidak tahu?!" ucapku dan langsung memukul bahunya pelan. "Benarkah? Kau sangat cantik, Anna," ucapnya terkekeh geli. "Apa kau mencintaiku?" tanyaku bercanda. "Tidak, kau sangat menyeramkan jika marah, aku takut," ucapnya dan tak lama kemudian tertawa dengan keras. Rendra benar-benar pria humoris. Sedangkan Nisa sudah seperti kakak kandungku sendiri, perhatiannya benar-benar sangat mengagumkan. Tanpa di sadari mobil sudah memasuki area gedung, Rendra menghentikan mobilnya di depan pintu utama dan membukakan pintu untukku, Aku benar-benar gemas di buatnya. "Kau memperlakukan aku seperti seorang kekasih," ucapku geli. "Biarlah, mumpung Nisa tidak melihat," jawabnya nakal. "Dasar buaya," ucapku keluar dari mobil mewahnya sambil tertawa lepas. "Aku buaya?! Kau salah, justru aku di sini lebih mirip seekor ayam dan Nisalah buayanya," ucapnya sambil tertawa lepas. "Kalau Nisa mendengar, habis, Kau!" seruku sambil memukul bahunya. "Sebentar lagi aku juga habis," ucapnya memucat. "Kenapa?! Apa kau sakit?! Apa maksudmu?" tanyaku bingung. "Lihatlah di balkon sana, dia menatapku tajam," jawab Rendra, ketakutan. Aku mengikuti arah pandangnya dan menatap ke arah balkon. Benar saja, Nisa menatap kami berdua sambil berkacak pinggang. Astaga! Dia pasti akan murka. Tak berapa lama kemudian, ponsel Rendra berbunyi. Rendra segera mengangkatnya dan menekan pengeras suara. "Hallo," jawabnya lirih. "Dasar ayam! Temui aku di lantai atas!! Akan kumakan, Kau!" ucap Nisa membuatku tertawa keras. "Bersabarlah, Sayang," ucapku sambil menepuk pipi Rendra, gemas. "Awas, Kau," jawab Rendra dan langsung berlari buat menemui Nisa. Tanpa kusadari sepasang mata tengah menatapku dengan tajam dan sangat menakutkan. Tatapan itu mampu membuatku salah tingkah dan gemetar. "Apa yang kau lihat, Sayang?" tanya Amel dengan manjanya. Rama mengetatkan rahangnya dan menyuruh Amel buat masuk duluan. Rama menghampiriku dengan nafas memburu. Tangannya meraih tanganku dan membawaku ke tempat yang agak sepi. "Lepaskan, Aku!!" desisku emosi. "Jadi itu alasannya kenapa kau tidak mau tinggal bersamaku, Anna?! Hah?! Kau bersenang-senang dengan seorang pria?!" bentak Rama, kasar. "Bukan urusanmu!!" ucapku tidak memperdulikannya. "Itu urusanku, Anna!! Kau membawa putriku! Aku tidak mau dia memiliki sifat yang buruk seperti ibunya!!" marah Rama, membuatku tidak terima. "Cukup, Rama!! Dia putriku!! Dan bukan putrimu!" bentakku berusaha melepaskan tangannya. "Apakah kau selalu bersama para pria kesepian dan memuaskan hasratnya?!" tanya-nya lagi menyakiti hatiku. "Jaga bicaramu, Pria sialan! Kau bukan siapa-siapa bagiku!" desisku emosi. "Kau milikku!!" "Bukan!! Dan tidak akan pernah! Sebaiknya kau masuk dan temani istri tersayangmu itu," ejekku melotot tajam ke arahnya. "Aku memang akan menemaninya, Anna! Setidaknya Amel lebih terhormat jika dibandingkan denganmu!!" ucap Rama dan kali ini benar-benar membuatku ingin meremas mulut sialannya itu. "Silahkan, Tuan," jawabku berusaha sabar. Karna kesal, Rama tanpa diduga memeluk tubuhku dengan paksa, dia melumat bibirku dengan ketat dan dalam hingga menimbulkan rasa sakit. Hatiku benar-benar hancur, entah sampai kapan manusia laknat seperti dia bisa lenyap dari pandangan mata, menatapnya hanya akan membuat perutku terasa mual. Sekian lama menciumi bibirku, Aku marah dan dengan sengaja menendang perutnya, setelahnya, aku berlari menemui Nisa sambil meneteskan air mata. ****** Maaf karna masih banyak penulisan yang salah ya, All ... jangan lupa tekan Love and follow yaaa, makasih .... salam manis Dilla 909 TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD