BAB 3

1664 Words
Sejuknya udara pagi menjelang siang menerpa wajahku, entah siapa yang membuka jendela kamarku aku tidak tahu! Yang pasti! Semoga nenek Darmi, beliau mempunyai kunci cadangan. Bukan Rama si pria brengsek yang dengan seenak jidatnya memasuki atau membuka paksa pintu orang. Harapku! Semoga dia sudah lenyap dari rumahku. Aamiin .... "Kau sudah bangun, Nak? Mandi-lah! Lalu sarapan," ucap nenek Darmi, membuatku lega, setidaknya! Manusia bernama Rama sudah hilang dari rumahku. "Maafkan Anna, Nenek. Anna kelelahan hingga bangun siang," ucapku tidak enak. "Tidak apa-apa, Nak. Lagipula kau kan memang bekerja, sekarang bangunlah dan cepat sarapan! Makanan yang Nenek siapkan tadi malam kenapa masih utuh?" tanya-nya khawatir. "Tidak apa-apa, Nenek. Habis ini biar Anna makan sampai habis," ucapku bangun dari tempat tidur. "Baiklah, Nak. Nenek tunggu di luar," ucapnya dan tak lama kemudian keluar kamar sambil tersenyum. Aku segera bangun dan berniat pergi ke kamar mandi, tapi sebelum itu, kusiapkan baju kerjaku agar nanti tidak kesusahan, tanpa aku sadari, nenek Darmi menatapku dari luar kamar. "Tunggu, Nak!" serunya, khawatir. "Ada apa, Nenek?" tanyaku bingung. "Kenapa pipimu merah?! Apa pria yang sering kau ceritakan itu menemukanmu lagi?! Apakah dia menyakitimu, Nak?!" tanya nenek Darmi, emosi. "Em ... tidak, Nek. Lupakan saja." "Jangan bohong, Anna!" paksa nenek Darmi, tidak mau dibohongi. "Huft ... iya, Nek. Dia datang tadi malam, dan karna tidak sabar, dia menampar wajahku," ucapku berusaha melupakan kejadian beberapa jam yang lalu. "Apapun alasannya, dia tidak pantas menyakitimu, Anna. Kau tidak minta makan darinya, bukan?! Kurang ajar!" desisnya geram. "Sudahlah, Nenek. Memang Anna yang salah, kok. Tidak seharusnya Anna berkata kasar mengenai istri barunya," ucapku menenangkannya. "Tapi, Nak. Dia sudah menyakiti hatimu dan juga hati kakakmu! Kenapa kau yang disalahkan?! Aku tidak terima!! Mungkin aku hanya pengasuhnya Alice, tapi aku sudah menganggapmu sama seperti cucuku sendiri, Anna," ucapnya membuatku meneteskan airmata, setelah Nisa, hanya nenek Darmi dan Alice saja yang aku punya. "Terima kasih, Nenek Darmi," ucapku tersenyum lembut menatapnya, dia yang tadinya di luar kamar kudekati dan langsung kupeluk dengan rasa bahagia. Alice yang sedari tadi dia dudukkan di sofa, mengapai-gapai ke arahku. "Um ... anak mama yang manis, apa kau sudah makan, Sayang?" tanyaku tersenyum senang. Kugendong tubuhnya dan kuciumi bibirnya dengan gemas. "C-cu-cudah, Mama," jawabnya tidak jelas. "Oh, sudah ya, Sayang? Berarti anak mama memang pintar," ucapku memanjakannya. Aku tidak percaya di usiaku yang masih sangat muda bisa punya anak seperti Alice. Sedangkan Alice hanya tertawa sambil sesekali mencium pipiku sampai basah dengan mulut mungilnya yang cantik. "Sudah, Alice. Ayo main, mamamu harus cari uang, Nak," ucap nenek Darmi meminta Alice dari gendonganku dan membawanya keluar rumah buat jalan-jalan. Setelah selesai dengan semua persiapanku, aku berangkat kerja ke butik Nisa. ******* Suasana di butik Nisa sangat ramai. Beberapa karyawan tengah sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Ada yang memotong kain, ada yang melayani pelanggan, dan ada pula yang menjahit. Tugasku adalah bagian payet atau memperindah pakaian, selebihnya membantu mereka jika pakaian yang aku pasangi perhiasan sudah selesai. "Anna! Kemarilah!" panggil Nisa, sedikit lebih keras. Karna memang aku pekerjanya, aku menghampirinya dan menanyakan apakah ada sesuatu yang perlu aku bantu. "Ada apa, Nisa?" tanyaku penasaran. "Ada salah satu pengusaha kaya yang ingin memesankan beberapa gaun malam buat istrinya, dia ingin kau yang melayaninya, Anna," ucap Nisa, membuatku heran menatap matanya. "Siapa?" tanyaku, malas. "Aku tidak tahu, Anna. Temuilah!" ucap Nisa, memerintah. "Nisa, aku tahu aku adalah bawahan, tapi bukankah tugasku hanya membuat gaun biasa menjadi indah saja, Sayang?! Masalah melayani tamu, bukankah tugas Nandini?" protesku dengan nada kesal menatapnya. "Itulah masalahnya, Anna. Dia tidak mau dilayani karyawan lain kalau bukan dirimu," ucap Nisa membuatku semakin kesal saja memikirkan siapa tamu yang keras kepala. "Baiklah, aku akan melayaninya," ucapku menuruti Nisa. "Gadis pintar, tapi kenapa pipimu merah, Anna?! Apa kau sakit?!" seru Nisa, khawatir. "Aku tidak apa-apa, Nisa. Tenanglah!" jawabku datar menatap mata Nisa. "Baiklah kalau begitu, semangat!!" ucap Nisa, menyemangatiku agar tidak malas. "Tentu saja," jawabku tersenyum menatap Nisa dan tak lama kemudian Nisa pergi menemui pelanggan yang lain. Aku segera pergi ke ruangan yang biasa digunakan Nisa atau Nandini melayani para tamu. "Selamat siang, apakah ada yang bisa saya--" ucapku terhenti karna melihat Rama dan juga Amel di sana. Tubuhku memanas, rasa benci di hatiku semakin besar saat bertatapan dengan mata tajam kedua manusia yang paling tidak ingin aku temui. "Hai, Adikku sayang. Apa kabar?! Aku tidak tahu kau kerja di tempat seperti ini. Kukira kerja di rumah orang sebagai pembantu," ucap Amel, mengejekku. "Tapi baguslah! Rama tidak perlu merawatmu lagi atau kesusahan menghidupi dirimu dan juga anak angkatmu itu! Sebaiknya memang kau jauhi rumah tanggaku, lebih baik untukmu," ucapnya bagai sembilu mengiris hatiku. Sudah menyakiti hati kakak kandungku! Menikahi suaminya, pula!! Keterlaluan!! Andai bukan karna ayahnya pria baik, malas aku punya kakak tiri macam dirinya. "Kau tidak perlu khawatir, Nyonya Rama. Aku baik-baik saja," ucapku malas berdebat. "Oh, syukurlah," dengus Amel dengan menempelkan dadanya ke arah Rama, tentu saja dengan pakaian terbuka, pakaian yang menutupi dadanya saja tidak sepenuhnya bisa. "Kak ... Kak, kau dari dulu tetap sama, tidak berubah," batinku kadang merindukan kehidupan damai dengannya, tapi mustahil! Sedari dulu dia menghina kakakku dan itu merupakan racun bagiku. Kami selalu bertengkar. Rama menatapku datar, ekspresi wajahnya tidak bisa ditebak, kadang sayu, kadang juga tajam. Muak melihat wajahnya, aku menatap ke arah lain. "Kalau kau mau memesan baju, silahkan saja, sebutkan ukuran bajumu dan berapa baju yang akan kau pesan? Aku sangat sibuk," ucapku acuh tak acuh. "Astaga! Mengapa kau sangat bersemangat, Adikku?! Tapi baiklah! Karna kasihan padamu! Aku memesan sepuluh baju, dengan atasan terbuka dan seksi. Kalau cocok nanti aku memesan lagi, bahkan lebih banyak," ucapnya dengan tatapan menghina. "Baiklah, Nyonya. Salah satu penjahit di butik kami akan mengukur badanmu, termasuk area dadamu yang sangat besar itu. Oh maaf! Maksudku ... Kau sangat seksi. Aku yakin pria manapun pasti akan tergiur dengan keseksian tubuhmu yang sangat menggoda itu, begitu memesona!" ucapku tanpa berkedip menatap matanya bergantian dengan mata Rama. "Amel," panggil Rama, tidak sabar. "Iya, Sayang," jawab Amel, sangat manja. "Apa kau tidak ingin melihat sepatu yang sedang dipajang di rak, sana?" ucap Rama, sambil menunjuk ke arah rak sepatu. "Waaah! Indahnyaaa! Baiklah, Sayang. Aku akan kesana! Kau sangat manis," ucapnya dan langsung mengecup bibir Rama, mesra. Aku yang melihat itu langsung merasa mulas dan jijik. Dengan kakakku, Rama tidak pernah baik seperti ini!! Lalu kenapa dengan Amel, berbeda?! Apa karna Amel begitu menggoda untuknya?! Lalu kenapa saat itu dia menikahi kakak kandungku kalau tidak cinta?! Kalau tidak dia sakiti!! Kak Ani sekarang pasti masih ada! Tidak bunuh diri!! "Dasar binatang!" gumamku geram. Amel berniat keluar dari ruangan sambil menatapku tajam. Dia sengaja menyenggol tubuhku hingga jatuh terbentur meja. "Maaf!" Amel tertawa menggoda. Karna ingat ini butik sahabatku, Aku berusaha menahan amarahku. Aku tidak mau nama baik butik Nisa menjadi buruk hanya gara-gara aku tidak suka pada mereka. Kuhela nafas dengan pelan berusaha bersikap tenang. "Tidak masalah, Nyonya Rama! Kuharap mata Anda baik-baik saja," ucapku sebelum Amel keluar dari ruangan. "Huh! Kuharap hatimu juga baik-baik saja, Anna!" balasnya dan tak lama kemudian keluar dari ruangan dengan cara membanting pintunya sangat keras hingga tertutup rapat. Dengan cepat Rama menghampiriku dan berniat menolongku tapi aku menyentakkan tangannya. "Lepaskan, Tuan Rama!! Pria sepertimu tidak pantas menyentuh tubuhku!! Sangat najis!!" bentakku emosi. "Apa kau baik-baik saja?!" tanyanya, khawatir. "Menurutmu?!" tajamku menjauh darinya. "Kau tidak baik-baik saja, Anna. Kau terluka!" Rama memaksa memegang tubuhku dan menatapku dengan tajam. "Bukan urusanmu!" seruku mengepalkan kedua tanganku. "Kalau kau masih sakit?! Kenapa masuk kerja?!" tanyanya semakin marah. "Apa kau pikir aku akan mati hanya gara-gara dorongan istri kesayanganmu, Tuan Rama?! Tidak akan!! Maaf jika sudah mengecewakanmu!! Cukup kakak kandungku saja yang tidak tahan dengan pengkhianatanmu!! Bukan, Aku!!" seruku berapi-api memaki Rama. "Aku serius, Anna. Apakah pipimu baik-baik saja?" tanyanya tidak memperdulikan amarahku. "Cih, lepaskan aku, Tuan Rama!! Kau hina!! Tidak perlu berpura-pura baik padaku! Tidak perlu!!" teriakku karna terlalu kesal. "Aku tidak berpura-pura, Anna!! Aku serius!! Apakah kau baik-baik saja?!Pulanglah ke rumah dan kita tinggal bersama!!" teriaknya putus asa. "Diam!! Aku tidak sudi tinggal di rumahmu, Pria bodoh!! Kau telah membunuh kakakku!! Satu-satunya keluargaku!! Aku sangat membencimu!! Kau tahu?! Aku sangat membencimu!!" bentakku menatap benci ke arah Rama. Hatiku hancur!! Aku meneteskan air mata karna saking kesalnya, mungkin marah saja tidak sanggup mengungkapkan rasa, hingga tanpa aku mau pun, airmataku menetes. Rama menarik tubuhku dan memelukku dengan paksa. Aku memukul-mukul dadanya agar di lepaskan tapi tidak bisa. Rama terus memaksa! Dia mencium bibirku dan dengan paksa membukanya, kehabisan nafas, aku membuka mulutku dan Rama langsung melumat seluruh isi di mulutku sampai puas. Tak cukup dengan itu, Rama juga meremas beberapa bagian tubuhku dengan gemas, dia hisap dan dia mainkan sesuka hatinya. Rama seperti orang kelaparan yang baru pertama kali mencumbu seorang wanita. Dia seperti sudah lama tidak pernah melakukannya. Ini seolah luapan birahi yang lama dia pendam pada seorang wanita Entah kenapa hatiku merasa aneh. Area sensitifku tidak henti-hentinya berkedut. Rama menyingkap bajuku dan memasukkan jarinya ke area sensitifku dengan perlahan. "Ah ... lepaskan, Rama. Jangan kurang ajar!" ucapku di sela-sela ciumannya. "Kau sudah sangat basah, Sayang. Aku menginginkanmu! Sangat--" desahnya sambil menghisap leherku dan memberinya tanda merah di sana. Aku merasa jengkel dan dengan paksa memberontak dari pelukannya tapi tidak bisa!! Tenaga Rama jauh di atas segala-galanya. Mencari sesuatu buat memukulnya juga tidak ketemu, tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya pasrah menerima perlakukannya. Reaksi tubuhku sangat aneh, di hati ingin memberontak tapi sebaliknya semua tubuhku menikmati perlakuannya. Kenapa ini?! "Apa kau belum puas membuat pipiku merah, Tuan Rama? Kau juga membuat bagian tubuhku merah-merah semua. Ini butik sahabatku, jangan membuat keributan di sini," lirihku sayu menatap matanya. "Maafkan aku, Anna. Pulanglah, Sayang. Kita tinggal bersama," ucapnya memelas. "Maaf," ucapan itu entah kenapa membuat hatiku memanas, setiap dia mengucapkan kata maaf, aku jadi teringat akan kematian kakakku. Aku menjadi geram dan mendorongnya dengan kasar agar menjauh. "Jaga sikapmu! Sampai mati-pun! Aku tidak sudi tinggal di rumahmu!! Pembunuh!!" "Anna ...." *** JUDUL : LOVE HURT PENULIS : Dilla 909 ******* Hai ... jangan lupa follow dan tab Love ya, terima kasih .... TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD