Di tempat lain. Ferdinand Randal berdiri di depan jendela kantornya, menatap kosong ke luar. Tangan kirinya mengepal erat di belakang punggung, sementara tangan kanannya menggenggam ponsel. Raut wajahnya keras dan tegang, rahangnya mengatup erat. Dia mengingat dengan jelas suara asing yang mengangkat teleponnya tempo hari, menggantikan anak buahnya yang ia tugaskan untuk mengawasi Nadira. Tidak ada penjelasan yang masuk akal mengapa orang itu tidak kembali atau melaporkan hasil penyelidikannya. Ferdinand benci ketidakpastian, dan situasi ini membuat darahnya mendidih. ‘Siapa orang itu?’ pikirnya sambil mengerutkan kening. ‘Dan apa yang sudah mereka lakukan terhadap anak buahku?’ Di sudut ruangan, kepala divisi IT berdiri dengan sikap tegang, menunggu instruksi lebih lanjut. Dia tidak t

