Malam itu, ia pulang tanpa pemberitahuan. Gaun merah menyala menempel sempurna di tubuhnya, memantulkan cahaya lampu. Langkahnya tegas, sepatu hak tinggi menghentak lantai dengan ritme yang penuh kemarahan. Ia melangkah masuk ke rumah Ethan, tanpa ragu—seolah setiap hentakan sepatu itu adalah peringatan tersendiri. Ethan baru saja keluar dari ruang kerjanya ketika mendengar pintu terbanting. Ia menoleh. Suara itu bukan suara biasa. Itu adalah suara Victoria. “Victoria.” Suara Ethan berat, menahan rasa kesal dan kelelahan sekaligus. “Aku tidak akan membiarkan orang lain menertawakanku lagi, Ethan!” suaranya melengking, tapi penuh tekad dan kemarahan yang tak bisa disembunyikan. Ia melangkah lebih dekat, wajahnya dihias make-up tebal namun tajam, matanya berkilat cemburu. “Kamu harus menj