Neva melangkah turun dari mobil dengan wajah yang dipaksakan tenang, meski di dalam dadanya badai bergemuruh. Telinganya masih jelas merekam suara Vartan yang menyebut nama itu, Diana. Nama yang sudah cukup membuatnya terjaga semalaman, kini kembali menusuk hatinya. Jadi benar, setelah pertemuan makan malam itu, mereka masih berhubungan? Mungkin bahkan sudah lebih sering bertemu tanpa sepengetahuannya. Tangannya gemetar saat membuka dompet, memberikan ongkos dengan senyum tipis yang kaku. “Terima kasih, Mas,” ucapnya singkat, suaranya terdengar parau, nyaris pecah. Sopir hanya mengangguk sebelum pergi, tak menyadari betapa rapuh penumpangnya. Neva menarik napas dalam-dalam, lalu menyeret kopernya memasuki paviliun. Begitu pintu tertutup di belakangnya, seolah semua topeng yang ia ken