Jennifer mengalami trauma setelah apa yang terjadi padanya tadi siang. Kini, saat sore sudah tiba, Jennifer terus merasa gelisah padahal ia sudah meminta tiga orang untuk menemaninya di dalam rumah. Tiga orang yang Jennifer maksud tidak lain adalah Rama, Ibram, dan Joe.
Jennifer tidak mau sendirian karena ia takut akan ada orang jahat yang mendekatinya lagi. Ia sama sekali tidak menyangka jika kehidupannya tampak menyeramkan seperti ini. Baru saja kemarin mendapati bom yang dilempar ke dalam rumahnya hingga tangan kanannya terluka, sekarang ia menerima perlakuan jahat dari orang asing yang sama sekali tak dikenalnya.
Wanita berparas cantik itu bahkan tak bisa mengalihkan tangan kirnya dari leher. Masih teringat dengan jelas bagaimana rasa sakit yang menjalar di lehernya saat ada orang lain yang coba untuk mematahkannya.
“Nona Jennifer, sebaiknya kau segera makan. Kau belum makan sejak tadi.” Rama berujar, memberikan tatapan penuh perhatian pada majikan yang sering memperlakukan dirinya sebagai teman tersebut.
Suasana di ruang utama sangat hening, Jennifer hanya berdiam diri saja di atas sofa. Dan tiga pria yang bersamanya hanya berdiri di belakang sofa yang ia duduki.
Jennifer menghela napas seraya memutar tubuhnya agar ia bisa melihat tiga orang yang telah menemaninya selama dua jam ini. Jennifer menunjukkan mimik wajah bersedih bercampur manja. “Leherku rasanya sangat sakit, Rama. Aku ingin makan tetapi aku juga tidak mau.”
“Jika seperti itu, sebaiknya kau segera makan,” timpal Rama, ia yakin jika Jennifer sudah merasa lapar. Apalagi wanita yang sangat perfeksionis itu sudah menangis dalam waktu yang tidak sebentar tadi.
“Ah, ya! Kau benar. Bisakah kau mengambilkan aku makan? Aku mau makan di sini saja,” pinta Jennifer dengan kalimat yang ia ucapkan dengan nada lirih.
Rama mengangguk setuju. Dengan patuh ia langsung pergi meninggalkan ruangan tersebut, menuju dapur untuk mengambilkan makanan. Jennifer tidak khawatir karena Rama telah benar-benar tahu seleranya dalam hal apa pun.
“Nona, apa kami sudah boleh pergi?” Joe bertanya dengan hati-hati. Ia sudah cukup merasa bosan karena hanya berdiam diri selama dua jam, tanpa melakukan apa pun.
“Kau terlihat tidak betah? Bukanlah salah satu tugas kalian adalah menjagaku? Dan kalian sedang melakukan tugas tersebut sekarang!”
Joe menyikut tangan Ibram setelah mendapatkan jawaban dari Jennifer. Sungguh, ia merasa bosan dan merasa akan lebih baik jika ia melakukan pekerjaan lainnya, daripada hanya berdiam diri di belakang tubuh majikan cantiknya.
“Joe, kau pergilah dan berjaga di depan bersama Alex. Biarkan aku yang berada di sini,” ungkap Ibram dengan santai.
Tanpa memikirkan banyak hal, Joe langsung saja melenggang pergi meninggalkan ruangan. Hal tersebut membuat Jennifer merasa tidak senang, ia menatap tajam Ibram yang masih saja terlihat sangat santai.
“Ibram! Kau itu hanya satpam! Kau sama sekali tidak berhak untuk memerintah atau membuat keputusan apa pun di rumah ini! Kau sangat lancang karena mengizinkannya untuk pergi!” protes Jennifer dengan tatapan tajam. Ia merasa apa yang dilakukan oleh Ibram tak seharusnya dilakukan. Sekarang, Ibram masih berstatus sebagai satpam, tetapi ia sudah berani memerintah seperti itu.
Jennifer jadi tidak bisa memikirkan bagaimana sikap Ibram jika pria itu benar-benar menjadi suaminya kelak. Sudah bisa dipastikan jika pria itu akan bertingkah layaknya tuan.
“Aku yang akan menjagamu di sini, jadi kau tak perlu khawatir.”
Helaan napas panjang Jennifer keluarkan.
Mencoba untuk tak peduli, Jennifer pun membalikkan tubuhnya. Ia sedang malas berdebat karena lehernya terasa sangat sakit. Belum lagi, tangan kanannya yang juga bertambah sakit karena tadi mencoba untuk melepaskan cekikan pria asing.
“Untuk ke depannya, kau jangan pernah lagi menolak penjagaan yang aku berikan. Aku akan mengawalmu ke mana pun kau pergi, dan aku yakin jika Tuan Nicholas pun tak akan pernah membiarkanmu untuk pergi ke luar rumah hanya berdua bersama Rama lagi setelah apa yang terjadi,” ujar Ibram yang tiba-tiba saja berpindah dari belakang sofa kini menjadi di depan sofa, tepat di hadapan Jennifer yang hanya menganggukkan kepalanya malas.
Jennifer tak akan lagi menolak karena ia sudah cukup tahu akibat dari berjalan-jalan tanpa pengawalan. Sepertinya, hidupnya sudah tidak aman lagi. Sekarang Jennifer merasa jika dirinya adalah seorang penjahat yang mempunyai banyak musuh, padahal ia merasa jika dirinya tidak memiliki musuh sama sekali karena ia memang tidak bergaul dengan banyak orang.
Merasa perlu bertanya, Jennifer pun bertanya pada sosok yang masih saja berdiri di hadapannya. “Apa kua tahu mengapa pria tadi mencekikku? Kau tadi mengejarnya bukan?”
“Boleh aku duduk?” tanya Ibram, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan karena ia yang merasa tak nyaman jika harus mengobrol dengan posisi demikian bersama sang majikan.
Tanpa beban Jennifer pun menganggukkan kepala, karena ia sendiri pun merasa pegal jika harus mendongak menatap ke atas, apalagi lehernya yang sangat sakit.
Setelah mendapatkan persetujuan dari Nona Muda Kielle, Ibram pun langsung duduk di sofa yang berbeda dengan majikannya. Ia menarik napas dan menjawab, “Aku sudah mencoba untuk bertanya, tetapi dia sama sekali tidak mau memberi tahu. Tampaknya dia hanya orang suruhan yang berada di bawah tekanan.”
“Apa yang kau lakukan padanya?” tanya Jennifer penasaran, sembari memicingkan matanya.
“Aku hanya membuatnya babak belur saja,” balas Ibram singkat dan santai.
Jawaban tersebut rupanya membuat Jennifer sangat kaget. Ia membolakan matanya dengan mulut yang terbuka.
“Hanya? Babak belur kau bilang ‘hanya’”? pekik Jennifer tak menyangka. Bisa-bisanya Ibram bersikap sesantai itu setelah membuat orang lain babak belur. Jennifer hanya berharap jika apa yang dilakukan oleh Ibram sama sekali tidak terekam kamera pengawas dan kejahatan yang telah dilakukan oleh pria tersebut bisa aman tak terendus oleh polisi.
Jennifer takut jika Ibram akan dilaporkan ke polisi. Walau pada dasarnya Jennifer sama sekali tak peduli jika Ibram dipenjara.
Ibram mengangguk singkat. “Itu balasan yang pantas untuknya, bahkan aku sebenarnya ingin membunuhnya pada saat itu juga. Hanya saja dia terlihat seperti orang yang tidak terlatih. Dan aku merasa tidak adil jika aku menindas orang yang lemah.”
“Kau sudah menindasnya dengan membuatnya babak belur! Tapi ... aku setuju denganmu, dia memang sangat pantas mendapatkan hukuman karena dia pun sudah berani melakukan hal tersebut padaku. Padahal tadinya, aku berpikir jika dia adalah orang yang baik walau penampilannya sangat menyeramkan di mataku.”
Lantas Ibram menatap serius ke arah Jennifer. “Dan apa yang aku pikiran tadi? Mengapa kau tidak berteriak saat tahu ada seorang pria yang masuk ke toilet wanita? Apa kau berpikir jika pria yang masuk ke dalam toilet wanita itu memiliki niat yang baik?”
Jennifer mendelik sebal. “Aku sama sekali tidak memikirkan hal tersebut tadi. Dia yang membantuku untuk membuka kunci, dan ternyata dia juga menungguku sampai aku selesai. Sepertinya dia berniat untuk membunuhku, karena dia bilang dia akan melepaskan cekikannya jika aku mati.”
Geraman marah terdengar dari Ibram setelah Jennifer menyelesaikan kalimatnya. Ibram tak terima jika ada yang memperlakukan anak majikannya dengan demikian, apalagi hingga mengancam soal keselamatan. Ibram semakin yakin saja untuk mengawal Jennifer ke mana pun wanita itu pergi.
Sepertinya, sekarang musuh-musuh Nicholas bergerak semakin lincah dan mereka mulai menyadari jika Jennifer adalah kekuatan utama Nicholas, yang mana artinya dengan menyerang dan menyakiti Jennifer maka itu artinya menyerang pertahanan utama Nicholas selama ini.
Sebenarnya, selama ini Nicholas sudah berusaha untuk menyembunyikan Jennifer dari hadapan publik demi untuk melindungi wanita itu. Namun sayangnya, Jennifer yang sama sekali tidak tahu menahu kelamnya dunia yang dijalani ayahnya justru selalu sesumbar mengungkapkan identitas dirinya sebagai anak dari Nicholas Kielle dengan bangga.
Dan kini, akibat dari terbongkarnya identitas Jennifer mulai bermunculan. Satu persatu teror dan juga bahaya mulai mengincar boneka hidup tersebut.
“Wah, sepertinya calon suami dan istri sudah mulai akrab,” goda Rama yang baru saja datang bersama nampan di tangannya. Ia tersenyum menggoda ke arah Jennifer dan juga Ibram secara bergantian.
Suaranya yang sangat lantang kontan saja membuat keduanya menoleh. Berbeda dengan Jennifer yang mendelik kesal, Ibram justru terlihat biasa saja dan tak menunjukkan respons yang berarti.
Masih dengan senyumannya yang tak luntur, Rama meletakkan nampan yang ia bawa di meja. Lantas ia semakin tersenyum lebar ke arah Jennifer yang tak mau menatapnya, karena merasa kesal dengan kalimat yang baru saja dilontarkannya. Mimik wajah kecut yang ditunjukkan oleh Jennifer sama sekali tak menyurutkan semangat Rama untuk menggoda.
Pria itu tiba-tiba saja membungkukkan dirinya dan berkata, “Aku tidak mau mengganggu sepasang manusia yang sedang mencoba untuk melakukan pendekatan pranikah. Maka dari itu aku pamit undur diri, Nona.”
Rama langsung lari terbirit-b***t setelah menyelesaikan kalimatnya. Hal tersebut membuat Jennifer melotot dan berteriak. “Rama!! Kau akan pergi ke mana? Temani aku di sini!”
Sia-sia, Rama sama sekali tak mendengarkan kalimatnya dan terus saja berlari meninggalkan ruangan. Hal tersebut membuat Jennifer mendesah kasar seraya mengambil makanan yang disediakan untuknya di atas pangkuannya.
Ketika ia akan mencoba untuk makan dengan tangan kiri, Jennifer merasa kesulitan. Ia bisa memegang sendok dengan baik tetapi tidak bisa mengarahkannya dengan benar. “Sial—“
Belum selesai u*****n yang dilontarkannya, Jennifer harus terdiam secara tiba-tiba kala ada tangan kekar yang mengambil alih sendok serta piring yang ada di pangkuannya. Itu adalah ulah Ibram, yang ini tengah mencoba untuk menyuapi makanan.
“Buka mulutmu!” titah Ibram dengan nada yang sangat datar.
Jennifer memicingkan matanya sejenak, lalu kemudian ia melahap makanan yang ada di hadapannya dengan kasar, sampai suara sendok yang beradu degan giginya terdengar sangat nyaring.
“Aku hanya mau disuapi oleh dirimu karena tangan kananku sedang sakit, jadi kau jangan besar kepala!” dengus Jennifer.
Ibram menghela napas panjang dan membalas, “Kepalaku ukurannya sudah tetap, tidak akan membesar lagi. Jadi kau tidak perlu khawatir.”