Di Ujung Maut

1043 Words
         Firasat Jevan buruk sejak awal dia bertemu dengan gadis di hadapannya ini. Mereka belum sempat berkenalan tapi sudah menghadapi situasi sesulit ini. Jevan bisa merasakan sesuatu yang buruk akan dia lewati. Jika di alam sadar dia mungkin bisa memanggil Hezelfin atau Vile untuk memanggilnya, namun saat ini tidak mungkin. Seseorang yang  masih hidup dan sadar tidak bisa masuk ke Tetranium. Mereka berada di alam yang berbeda.            Sebuah pelut dan dentuman yang mereka rasakan Jevan juga tahu penyebabnya. Tetranium adalah tempat berkumpulnya Divrigen, orang yang sudah mati atau seseorang yang berada diantara gadis hidup dan mati . Tempat ini merupakan tempat peralihan antara dunia nyata dan dunia lainnya.            Langkah besar nan kasar itu terasa menggetarkan seluruh area Tetranium. Jevan mengintip dari balik pohon besar tempatnya berlindung. Sebuah makhluk besar dengan tinggi mungkin setinggi Menara Eiffel di Paris berjalan memimpin pasukan. Makhluk itu memiliki kulit berwarna cokelat dengan sesuatu yang berwarna hijau menjijikan yang memenuhi tubuhnya. Gignya bertaring panjang dengan mata merah menyala. Di tangannya yang besar dia membawa cambuk seukuran pohon pinus tempatnya berlindung sekarang. Satu kali cambukan cukup membuat remuk tulang manusia. Makhluk ini bernama Gluondam. Jevan pernah mendengar cerita ini dari Biandra sebagai dongeng pengantar tidur, namun Jevan tidak pernah menyangka bahwa dia akan melihat makhluk ini dengan mata kepalanya sendiri.            Sebuah pasukan besar mengikuti di belakangnya dengan pimpinan seorang lelaki berjubah hitam dengan wajah tertutup kain panjang dan baju besi lengkap tak lupa sebuah pedang panjang yang siap membunuh siapa saja. Ada 10 orang yang menjaga barisan.Mereka disebut Cravanus.Cravanus dan para penjaga Divrigen yang akan mengantar mereka ke alam baka.            Jevan menghela napasnya, di belakang mereka masih ada satu barisan penuh dengan senjata anak panah yang siap membunuh siapa saja. Di tengah barisan ada dua rombongan besar. Satu, mereka yang berpakaian bagus dan diperlakukan dengan lembut, sementara barisan di belakangnya mereka diseret, dipukul bahkan dicambuk berkali-kali.            Jevan merapatkan dirinya ke pohon. Jovanka menatapnya dengan tatapan bingung, “Ada apa? Kenapa kau begitu tegang?” Tanya Jovanka melirik ke arah Jevan yang tampak resah dan juga tak tenang.            “Pelankan suaramu,” tegur Jevan. Jovanka mengangguk. Dia juga bisa merasakan bahwa ada sesuatu di balik pohon. Dentuman dan tanah yang bergeser membuatnya yakin ada sesuatu yang tak beres di balik pohon. Jovanka  berusaha mengintip dari balik pohon tapi Jevan dengan sigap menarik lengannya.            “Kau tidak akan siap melihatnya. Alangkah lebih baik kau tidak melihatnya.” Jevan menggelengkan kepala mencegah Jovanka. Gadis itu penasaran. Apa yang membuat lelaki ini melarangnya melihat sesuattu di balik pohon.            “Tapi aku penasaran tauk! Aku juga pengen lihat.”            Rasa penasaran Jovanka lebih besar daripada rasa takutnya. Jujur dia takut jika menemukan sesuatu yang buruk di balik pohon. Tapi bukankah lebih  baik jika dia tahu apa yang ada di balik pohon agar dia bisa lari dari tempat ini atau mencari solusi.            “Sudah kubilang lebih baik kau diam saja di sini,” larang Jevan.            “Kau tidak punya hak melarangku.” Jovanka bersikeras. Gadis itu tidak akan menyerah. Apa hak Jevan untuk melarangnya. Dia saja tidak mau diatur pakai sok-sokan mengatur Jovanka. Ini tidak adil tentunya.            “Jangan keras kepala. Jika kau ingin hidup lebih baik kau diam saja.”            “Aku bukan anak kecil yang bisa kau larang.”            Jovanka bersikeras. Jevan menarik napas karena kesal. Perempun ini benar-benar keras kepala. “Kau tidak akan baik-baik saja jika melihatt sesuatu yang berada di sana. “ Jevan D’movic mencoba memperingatkan Jovanka.            “Heh, dengar ya. Aku ini gadis pemberani. Jadi apapun yang di sana aku pasti akan bisa menghadapinya.” Jovanka tidak mau mengalah. Kesabaran Jevan sudah habis. Dia lelah berdebat dengan gadis yang keras kepala ini. Tangannya masih mencekal lengan Jovanka. Sekali dia melepasnya pasti gadis ini akan segera kabur.            Jevan D’movic sebenarnya tidak peduli terhadap gadis ini. Sudah sejak lama dia enggan untuk mempedulikan orang lain. Dia bahkan lupa rasanya tersenyum atau merasa peduli pada orang lain. Dunia ini terlalu jahat pada Jevan. Lelaki itu pernah mencoba untuk menolong seorang penduduk Argenta, tapi yang dia dapat justru makian, teriakan dan pandangan jijik terhadap Jevan. Semua penduduk Argenta memiliki perasaan takut padanya, tidak jarang Jevan dipanggil sebagai monster oleh mereka.            Jevan tidak pernah berpikir untuk menyakiti mereka, tapi apa daya, mungkin Jika Jevan berada di posisi mereka dia akan bersikap sama seperti ini. Karena itu Jevan tidak pernah melawan dan menerima segala u*****n dan makian itu tanpa berpikir membalasnya.            “Lepaskan aku, aku ingin melihat apa yang ada di sana.” Jovanka mencoba melepaskan tangan Jevan yang menggenggam tangannya. Lelaki itu tiba-tiba saja menghempaskan tangan Jovanka. Gadis ini benar, dia tak ada hak untuk mengaturnya.             “Kau benar-benar keras kepala, aku tidak peduli jika terjadi sesuatu padamu. Saranku jika kau melihat mereka jangan berteriak.”             Jevan D’movic berkata dengan dingin. Lelaki itu perlahan meninggalkan Jovanka. Jovanka mengelus pergelangan tangannya yang memerah. “Dasar es batu, sakit tau tanganku diginiin. Lagian apa sih yang ada di sana paling juga macan atau preman doang  gue gak takut,” ujar Jovanka dalam hati.            Setelah mengomel beberapa saat, Jovanka merapatkan dirinya ke pohon, dia mulai mengintip pelan-pelan apa sebenarnya yang ada di balik pohon.            “Los Vregentte oviosta!”            Rombongan yang dipimpin Gluondam itu mendadak berhenti karena teriakan seseorang yang tidak lain adalah pimpinan pasukan yang paling depan. Jovanka yang baru saja mau melongokkan kepalanya mendadak ngeri. Dia ragu untuk melihat apa yang berada di balik pohon, lebih tepatnya di jalan dengan terowongan panjang  di sana.            KRIEEEETTT!!            Suara pintu terbuka. Sebuah pintu tak kasat mata muncul di depan terowongan.Pintu itu terbuat dari batu dengan ukiran ornamen di atasnya, juga daun rambat berwana keemasan serta akar yang saling bertautan yang mulai mengendur dan membuat pintu itu terbuka. Teriakan, sorakan, jeritan mulai terdengar memekakan telinga. Rombongan yang dari tadi dipukul dan disiksa menjerit teramat keras. Mereka bergulung-gulung di tanah dan mencoba kabur dari sana sehingga menimbulkan kekacauan besar. Sementara satu rombongan lainnya tampak tersenyum senang seperti seseorang yang akan mendapatkan hadiah. Sebuah pemandangan kacau dan juga mengerikan. Gluondam dan para pemimpin barisan tak segan memukul para rombongan yang membangkang.            Jovanka tak mampu berkedip. Tubuhnya membeku. Pupil matanya melebar karena terkejut. Mendadak dia lupa peringatan Jevan D’movic.            “AAAAAAAAAAAAAAA!”            Satu teriakan lolos dari bibir Jovanka menandakan bahwa maut mulai mengincarnya sekarang. Jovanka bodoh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD