We are All Victim

1009 Words
Tidak ada seseorang yang ingin dibandingkan dan diperlakuan tak adil sebagai anak. Terutama jika kau terus melihat  saudaramu dilimpahi banyak kasih sayang sementara  kau tidak.  Drean D'movic selalu  merasakan itu. Meskipun dia mencoba memahami mungkin saja Marvin dan Biandra lebih menyayangi  Jevan karena lelaki itu  berbeda darinya. Karena lelaki itu  paling banyak menerima penderitaan. Tapi bukan berarti  mereka harus mengabarkan Drean. Drean juga darah daging mereka. "Mereka bahkan tidak pernah menanyakan bagaimana  sekolahku.  Yang dipikir hanya Jevan...  Jevan dan Jevan saja!  Kenapa setiap  hari hanya monster itu yang mereka perhatikan. Aku juga anak mereka tapi mereka memperlakukanku bak sampah." Drean mulai meracau.  Alkohol mulai menguasai dirinya. Sudah beberapa hari ini Drean  tidak pulang ke rumah.  Keluarganya bahkan tidak ada yang mencarinya.  Mereka hanya fokus pada Jevan.  Jason sang bartender menatap Drean dengan iba. Drean selalu ke Bar Jason setiap kali dia sedang frustrasi.  Lelaki itu biasanya hanya duduk diam dan mulai meracau ketika sudah mabuk. "Kau tahu yang lebih menyebalkan?  Mereka bahkan tidak mencariku sekarang?" Drean menenggak segelas Vodka di hadapannya sekali teguk.  Bar Jason terletak di pinggiran kota yang bisa ditempuh setengah jam dari kediaman D'movic. "Mungkin saja mereka sedang sibuk sekarang. Kau bilang kakakmu sakit,  mungkin saja mereka sedang memperhatikan kakakmu karena Jevan sedang membutuhkannya.  Mereka bukannya tidak  menyayangimu,  hanya saja tidak menunjukkannya padamu." Jason mencoba menasihati  Drean. Hampir tiga hari Drean datang dan berakhir dengan mabuk berat bahkan terakhir kali dia sampai muntah-muntah  Drean seseorang yang banyak bicara dan gampang bergaul. Hampir seluruh yang datang ke bar ini mengenal Drean. Lelaki ini murah senyum dan gampang bercengkrama dengan siap saja. Meskipun masih sekolah tapi perawakannya sudah  seperti lelaki dewasa.  "Pulanglah,  Drean, aku yakin orang tuamu akan mencarimu," Jason mendekati  Drean dan mencoba menghentikan lelaki itu untuk meminum minumannya kembali.  Drean menepis tangan Jason kasar. "Aku tidak mau pulang.   Lagian aku mau pulang kemana.  Aku juga tidak punya rumah,"  Drean berkata sambil tersenyum  miring. Sebuah rumah harus terasa seperti rumah agar  bisa disebut rumah. Sebuah tempat yang bisa kau tuju saat kau lelah. Sebuat tempat yang bisa menjadi tempatmu berlindung. Tapi nyatanya bagi Drean rumah hanya sebuah area penyiksaan. Lelaki itu bahkan tidak betah berada di sana "Lebih baik katakan di mana rumahmu sekarang. Aku akan mengantarmu," Jason mengambil  tangan  Drean dan melingkarkan di bahunya. Lelaki itu bersikeras dan mencoba untuk menolaknya tapi Jason memaksa.  Drean sudah cukup mabuk. Tak mungkin dia akan pulang dengan membawa mobil sendirian. Drean menggeleng,  "Kau tidak akan pernah menemukan rumahku sekalipun kau mencarinya.  Kau tidak akan pernah. Hehehe." racau Drean. Drean benar.  Jason pernah mencoba mengantarkan  Drean pulang ke rumah saat mabuk,  saat itu dia melihat kartu identitas milik Drean. Dia pun mencoba untuk  memasulkan alamat Drean ke GPS tapi tak ada satu pun yang menunjukkan alamat yang tertera di kartu identitas milik Drean. Jason sampai heran bahkan dia bertanya ke teman-temannya tapi tak ada satu pun yang mengerti. Plak! Seseorang  muncul  dan langsung memukul kepala Drean.  Sungguh bukan pemandangan luar biasa bagi Jason. Jessica Martin,  gadis mungil tapi pukulannya bak hantaman nuklir. Teman sekelas Drean sekaligus sahabat  Drean yang selalu  jadi tukang jemput saat Drean mabuk. Keduanya sudah bersahabat sejak lama. "Dasar bodoh!  Sedang apa kau di sini? Hah!  Ujian sebentar lagi tapi kau malah mabuk seperti ini. Benarkah tidak berguna," Jessica langsung mengomel. Begitu  melihat  keadaan Drean.  Jason yang meneleponnya karena Jason tahu Drean pasti akan menolak diantar oleh Jason. Dan sekalipun dia mengantarnya pasti  Jason juga tidak akan menemukan alamat rumah Drean.  Jadi lebih baik dia meminta tolong pada Jessica. "Hai Jessica," racau Drean dengan bodohnya.  Jessica tidak membalas dan malah menjitak kepala Drean lebih keras. "Kau ini benar-benar menyusahkan. Jason,  maafkan Drean. Dia jadi merepotkanmu, " ujar Jessica. Di kota ini semua memanggil sebutan nama baik tua maupun muda.  Mereka hanya menyebut kakak atau adik untuk mereka yang bersaudara. Selebihnya mereka menyebut dengan  nama dan bebas bicara seperti teman sebaya.  "Tidak apa-apa  Jessica,  aku justru yang harusnya meminta maaf  karena mengganggu waktu tidurmu," Jason melirik ke arah Jessica.  Merasa ada yang aneh Jessica mencoba memperhatikan penampilannya sendiri.   Gosh!  Piyama motif kartun bercorak beruang membungkus tubuh mungil Jessica dengan masker tidur yang masih menempel di atas kepalanya.  Gadis  itu tergesa -  gesa kemari karena panggilan  telepon dari Jason. Dia pun tak sempat berganti baju dan langsung mengambil kunci mobilnya. "Maafkan aku Jason. Aku datang dengan penampilan seperti ini." Jessica  melirik ke arah pengunjung bar yang tengah memperhatikan  dirinya. Mana ada seseorang yang datang ke bar dengan menggunakan piyama. "Kau tidak perlu  mempedulikan mereka.  Kau tetap cantik dengan pakaian apapun," ujar Jason yang membuat pipi  Jessica memerah. Sadar Jessica!  Dia hanya memujimu agar kamu tidak merasa malu.  Jessica  pun memapah Drean dan menarik tangan lelaki itu agar bersandar dibahunya. "Kami pergi dulu Jason,  terima kasih sudah menjaga Drean." Jessica berpamitan pada Jason dengan sopan.  Jason mengangguk. Jessica memapah Drean  sambil  menggerutu,  bagaimana tidak tubuh Drean beratnya dua kali lipat dari dirinya dan dia harus membawanya keluar club sendirian. Beruntung  tak lama pegawai Jason membantu memapah Drean hingga ke mobil  Jessica. Jessica memasukkan kunci mobilnya setelah mengucapkan  terima kasih pada orang yang membantunya.  Dia mengecek kembali seat belt milik Drean.  Dan kemudian  dia bersiap untuk menjalankan mobil. "Astaga!  Kau mengagetkanku saja." Jantung  Jessica  hampir  copot ketika wajah Drean tiba-tiba  saja di hadapannya  dan tersenyum ke arahnya. "Drean apa yang kau lakukan!" Jessica berkata setengah berteriak ketika Drean mendekati  dirinya.  Jarak wajah  Drean hanya beberapa senti dari wajah Jessica. Jarak yang cukup ideal untuk  berciuman.. Jessica mati kutu. Dia harus bisa menjaga  kewarasannya. Sedikit saja dia menggerakkan badannya otomatis bibirnya akan bertemu dengan bibir Drean Oh No! Jessica tidak mau ciuman bodoh itu terjadi. Dengan sekuat tenaga  Jessica menjaga kewarasan miliknya.  Drean tengah tersenyum dengan wajah bodoh  di hadapannya.  "Cantik,"  racaunya dengan tatapan tak lepas dari bibir Jessica. Drean menginginkannya.  Bolehkah dia mengecup bibir milik sahabatnya  sendiri? Jessica menahan detak jantungnya  yang meloncat tak beraturan. Dia bisa gila jika berada di posisi seperti  ini terus. "May i kiss you?" Jessica hampir tersedak ludahnya sendiri ketika Drean mengatakan kalimat itu dengan puppy eyes.  b******k!  Jika seperti ini mana mungkin  Jessica bisa menolaknya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD