Eps 8 Lampu temaram

1127 Words
Author P.O.V Sudah seharian ini Almira dibuat sibuk oleh tugas – tugas kuliahnya. Selain beberapa tugas individu, ada juga tugas kelompok yang belum dia selesaikan. “Ijin dia gak ya?” lirih Almira bingung “Woii, Mir,” panggil Yuna dari arah belakang “Heiss. Ampun deh kamu. Bikin kaget aja,” ujar Almira mengelus dadaa “Ya habisnya dari tadi dipanggil gak noleh – noleh. Lagi ngapain sih? Fokus amat,” Almira tak menjawab. Dia kembali melihat ke layar ponselnya. “Kamu mau nelfon suamimu?” tanya Yuna ikut melihat “Iya nih. Pengen ijin kerja kelompok tapi bingung cara ngomongnya,” “Kenapa harus bingung? Tinggal telfon terus bicara selesai,” “Gak semudah itu Furgoso. Kamu tahu sendiri hubunganku sudah retak bahkan sebelum dimulai,” Almira kembali mengingat terakhir kali Alvin berkata kasar padanya saat diruang makan. “Loh gak jadi?” tanya Yuna tatkala melihat Almira memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas “Biarin aja deh. Toh sepertinya dia juga tak peduli aku pergi kemana. Aku ada apa enggak di rumah itu juga kayaknya gak ngaruh buat dia,” tutur Almira mencoba tak peduli “Tapi, Mir. Gitu – gitu dia juga suamimu,” “Iya sih. Tapi gimana dong? Aku beneran bingung harus bilang apa. Pasalnya kita gak dekat. Kalau dicuekin gimana?” “Yang penting kan sudah ijin,” Almira nampak mencerna kata – kata Yuna dengan baik. Namun sepertinya hati dan pikirannya sedang tak sejalan. “Yaudah lah, Yun. Cuma kerja kelompok ini. Toh kita hanya sebentar. Jadi biarin aja deh. daripada aku pusing nyusun katanya,” ujar Almira dan melenggang pergi Melihat hal itu Yuna hanya bisa menggeleng pasrah melihat tingkah laku sahabatnya. . Malam harinya, Waktu menunjukkan jam 12 malam lewat. Dan Almira baru saja tiba di kediaman rumah barunya. Dia berjalan dengan sangat hati – hati seolah tak ingin penghuni rumah merasa terganggu. Dan tepat pada saat dia hendak menaiki tangga, lampu ruang tamu seketika menyala. “Bagus, bagus,” ucap seseorang dari arah belakang Almira yang kaget langsung berbalik menoleh ke arah sumber suara. Gleg, “Mati aku,” batin Almira takut Dia melihat sosok Alvin yang berjalan mendekatinya dengan raut wajah kesal. “Darimana saja kamu jam segini baru pulang?” tanya Alvin dengan suara berat Suasana nampak mencekam. Almira sangat takut melihat pandangan Alvin yang tajam menusuk. Seolah dia siap menerkam. “Aku ada kerja kelompok tadi,” jawab Almira pelan “Kerja kelompok? Kerja kelompok apa hingga tengah malam lewat hah?” tanya Alvin meninggikan suara Keringat dingin langsung mengucur di dahi Almira. “Se-sebenarnya ta-tadi selesai jam 9. Ta-tapi....” “TAPI APA?” Suara Alvin makin meninggi, dan raut wajahnya berubah memerah. Terlihat sekali bahwa dirinya begitu marah. Almira yang melihatnya semakin ketakutan. Namun dia mencoba untuk tenang. Agar apa yang diucapkannya jelas dan tidak terjadi salah paham. Almira mencoba menarik nafas dan mulai berbicara “Salah satu teman kelompokku tadi mengalami kecelakaan. Jadi aku bersama temanku, membantu membawanya ke rumah sakit. Dan kenapa aku bisa lama, karena masih menunggu pihak keluarganya datang. Temanku menjalani operasi. Jadi mau gak mau harus ada yang menunggunya,” terang Almira panjang lebar Mendengar hal tersebut, Alvin langsung mengerutkan dahinya. “Lantas kenapa kamu tidak ijin? Kamu kan tahu peraturan di rumah ini seperti apa? Terlebih kamu adalah istriku. Seharusnya kamu menghormatiku dong. Bukan malah seenaknya,” “Aku tidak seenaknya kok,” “Oyah? Kalau tidak seenaknya lantas sekarang apa? Dengan kamu main pergi gitu aja sudah menunjukkan bahwa kamu tidak menghargaiku sebagai suami. Apa begini caramu berterimakasih? Apa begini caramu bersikap kepada orang yang telah membuatmu hidup nyaman disini? Kamu itu tahu sopan santun gak sih?” Almira terdiam mendengar kalimat Alvin. Hal itu seperti pukulan telak bagi Almira. Dia benar – benar tidak menyangka bahwa tindakannya akan membuat Alvin begitu marah padanya. “Pertama – tama, aku minta maaf karena tidak meminta ijin kepadamu. Aku tahu aku salah. Tapi aku tidak bermaksud untuk bersikap seenaknya ataupun tidak menghargaimu. Aku hanya bingung bagaimana cara mengatakannya. Sebab hubungan kita tidak terlalu dekat. Terhitung sudah satu bulan lebih kita menikah. Namun baru empat hari yang lalu kita bertemu. Dan selama empat hari itu kita selalu bersitegang. Mulai dari kejadian di dapur, kejadian teh, air putih, bahkan hari ini juga ada. Jadi hal itulah yang membuatku takut untuk berkomunikasi lebih banyak denganmu. Dan akhirnya memilih diam,” tutur Almira menjelaskan Almira menghela napas panjang sebelum akhirnya kembali meneruskan. “Aku sadar kamu dan keluargamu sudah berbaik hati menolongku. Menolong ekonomi keluargaku yang terpuruk. Namun bukan berarti aku tidak tahu cara berterimakasih. Sampai disini banyak hal yang aku pikirkan. Termasuk bagaimana cara menjalin komunikasi yang baik denganmu. Namun entah kenapa aku merasa kamu membenciku. Karena segala hal yang aku lakukan, itu salah di matamu. Sekali lagi aku minta maaf yang sebesar – besarnya. Entah setelah ini kamu akan membatalkan kontrak pernikahan kita, tidak apa – apa. Aku bahkan siap mengembalikan uang yang sudah aku terima. Akan ku anggap hal itu sebagai konsekuensi atas kesalahanku,” jelas Almira mengakhiri perkataannya Alvin menatap lekat manik mata Almira. Dia tertegun seolah tak menyangka bahwa Almira akan seberani itu kepadanya. “Mulai sekarang, segala bentuk aktifitasmu di luar jam kuliah, harus melalui ijinku. Jika sampai hal ini terjadi lagi, maka kamu akan tahu konsekuensinya,” tutur Alvin dengan tegas Mimik wajahnya terlihat tajam dan serius. Alvin mengambil satu langkah ke depan. Kini dia berhadapan dekat dengan Almira. “Dan satu lagi. Batal tidaknya kontrak pernikahan kita, itu hanya berlaku dipihakku. Kamu tidak berhak mengungkitnya. Yang harus kamu lakukan hanya satu. Yaitu menuruti semua perintahku. Paham?” Almira tak menjawab. Dia hanya mengangguk cepat dengan masih menatap Alvin. “Bagus. Sepatutnya sebagai pihak kedua kamu harusnya sadar, bahwa statusmu tidak lebih dari seorah pesuruh,” ucap Alvin dan berlalu pergi Deg, Almira terpaku mendengar kalimat terakhir Alvin. Lagi dan lagi dia memberikan sebuah hantaman keras kepadanya. . Waktu menunjukkan hampir jam 2 pagi. Namun Almira tak kunjung mengantuk. Seolah banyak hal yang ia pikirkan. Dirinya juga sekarang berada di taman belakang. Duduk termenung di tengah lampu temaram yang indah. Namun keindahan itu tidak cukup membuat Almira tersenyum. Sebab saat ini hatinya terasa sakit dengan perkataan seseorang. “Ya Tuhan. Aku menyesal memilih jalan ini,” lirih Almira sedih Air matanya tiba – tiba menetes dengan cepat “Bu. Almira rindu sama Ibu. Almira rindu masa – masa dulu waktu keluarga kita masih utuh. Betapa bahagianya hidup kita meski kekurangan. Tak ada yang mencela, tak ada yang merendahkan. Hidup kita aman dan nyaman,” Tangis Almira tertahan dengan perasaan sakit yang menyiksa “Bu, semakin bertambah usia semakin Almira menyadari, bahwa memiliki banyak uang tidak lantas membuat hidupku kita menjadi lebih tenang. Karena tenang hanya bisa didapat dari hati yang nyaman,” TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD