Bella mengerjapkan matanya dengan perlahan dan hal pertama yang di lihatnya adalah Jordi dan Dika yang sedang memijat telapak kakinya. Saat ini mereka berada di ruang kesehatan kampus, ada Nagitha, Aurora dan juga Kiara disini. Mereka semua menatap Bella dengan raut wajah khawatir. Bahkan Kiara beberapa kali menaruh telapak tangannya di kening Bella guna memastikan bahwa suhu badan sahabatnya itu tidak bertambah panas.
"Kalian kenapa pada disini? Gak ikut kelas?" Tanya Bella memecah keheningan.
Mereka semua saling berpandangan dan menggeleng bersamaan. "Gue udah bilang kan sama lo Bell, lo itu lagi gak baik-baik aja," ucap Nagitha selembut mungkin mencoba menyembunyikan perasaan kesalnya pada Bella yang menurutnya begitu keras kepala.
"Gue gak papa beneran ... gue kan udah bilang kalo gue cuman kecapean aja," jelas Bella.
Ini bukan yang pertama kali nya dia pingsan di kampus. Waktu masa orientasi mahasiswa pun dirinya sempat tumbang karena berjemur di bawah matahari, membuat kakak tingkatnya yang melakukan ospek panik karena sebelum pingsan, Bella sempat mengeluarkan darah dari hidungnya.
"Makanya jangan terlalu di porsir Bell. Lo itu masih newbie, satu atau dua ronde aja tuh udah cukup. Jangan maksa ampe lima ronde, tepar kan lo," ujar Jordi dengan wajah tanpa dosanya, membuat semua temannya menatapnya dengan mata melotot.
"Jor, gue lagi gak punya tenaga buat marah ya, sumpah jangan mancing emosi gue bisa nggak sih? Mending lo pijet tuh kaki gue yang bener," ucap Bella dengan nada lemas. Sungguh rasanya dari tadi tangannya ingin sekali menjambak rambut Jordi.
"Jangan-jangan lo isi Bell," ucap Dika tiba-tiba.
"Isi apa? Jangan nakut-nakutin gue b*****t," balas Bella sedikit ragu juga kesal karena ucapan dari sahabatnya itu.
Perkataan Dika barusan membuatnya sedikit takut.
"Apa benar gue hamil? Tapi kan gue bikinnya baru dua hari yang lalu? Masa bisa langsung jadi?" Batin Bella.
Ceklek
Mereka semua sontak menoleh ke arah pintu. Bella yang sejak tadi berbaring pun langsung mencoba untuk duduk dengan dibantu oleh Kiara. Mereka semua terkejut saat melihat lima orang memakai jas hitam memasuki ruangan. Seketika itu juga Bella mempunyai firasat buruk saat melihat ada Mark diantara orang yang memasuki ruangannya barusan.
Dan benar saja, tak berselang lama pria itu menampakkan dirinya. Ya pria yang kemarin meninggalkannya di bioskop dan pria yang tadi pagi mengacuhkannya seolah-olah dia membuat kesalahan besar. Bella tak tau kenapa pria itu bisa ada disini, Stevan menatapnya dengan wajah yang sedikit mengernyit dan masih dengan pakaian kantornya, mata pria itu menatap tajam pada tangan Jordi dan Dika yang masih berada di kaki Bella.
Keadaan sedikit menegang, tak ada satu pun dari meeka yang berani membuka suara, sampai akhirnya Stevan berjalan mendekat ke arah Bella dan langsung saja Stevan mengangkat tubuh Bella ke dalam dekapannya, kemudian menggendongnya ala bridal style. Sungguh sikap Stevan membuat Bella tak bisa membuka suaranya untuk hanya sekedar bertanya ada apa dengan pria ini?
Saat mereka akan melewati pintu, Stevan menghentikan langkahnya. "Terimakasih karena sudah menjaga Bella," ucapnya yang ditujukan kepada teman-teman Bella tanpa berbalik.
Stevan meneruskan langkahnya diikuti dengan para bodyguard menuju lorong yang mengarah ke parkiran. Pada saat mereka melewati lorong, banyak sekali mahasiswa yang kebetulan berpapasan dengannya. Mereka semua melihat dengan wajah yang sulit di artikan. Ada yang memuji ketampanan Stevan, ada juga yang hanya memasang wajah speechless dan juga ada beberapa yang berbisik-bisik sambil mengarahkan pandangan ke arah mereka.
Bella merasa dirinya menjadi tontonan gratis anak-anak kampusnya saat ini, dia mendongakkan kepalanya untuk melihat ke lantai atas, di sana pun banyak mahasiswa yang berdiri di dekat pagar untuk melihat kejadian ini, dia juga melihat ada kak Aldio, kakak tingkat yang dulu menyatakan cinta pada Bella disana sedang melihat ke arahnya. Bahkan beberapa ada yang mengarahkan ponsel mereka ke arah Bella. Dia yakin bahwa esok hari dirinya akan menjadi trending topic di kampus ini.
"Stev, bisakah kau menurunkan ku? Aku bisa jalan sendiri," ucap Bella pada akhirnya. Dia sudah tak tahan dengan tatapan-tatapan dari mahasiswa lain -yang kebanyakan perempuan- yang kebetulan berpapasan dengannya.
Bella juga sudah gerah melihat mata para perempuan itu menatap suaminya dengan mata berbinar, seolah Stevan adalah seorang idol yang tidak sengaja mereka temui di tempat ramai.
"Tidak bisa," jawab Stevan tanpa menghentikan langkahnya, membuat Bella membenamkan wajahnya pada d**a pria itu.
Baginya semua ini begitu memalukan. Bella bertanya-tanya entah apa yang ada di pikiran Stevan saat ini? Baginya Stevan bukanlah tipe pria yang suka bersikap layaknya pria di drama-drama yang sering dirinya tonton, tapi kali ini kenapa Stevan bisa sampai tau bahwa dirinya ada di ruang kesehatan? Menggendongnya di sepanjang lorong dengan tidak memperdulikan tatapan orang-orang yang berpapasan dengan mereka.
Mark membukakan pintu mobil saat mereka sudah sampai di parkiran, Stevan pun langsung mendudukkan Bella di kursi belakang lalu menutup pintunya dan memutari mobil kemudian duduk di samping Bella.
"Tuan, anda sudah ditunggu klien untuk penandatanganan perpanjangan kontrak," ucap Mark yang berada di kursi depan.
"Suruh mereka menungguku dua jam lagi," perintah Stevan.
"Tapi Tuan ...”
“Kalau mereka keberatan batalkan saja kontraknya," putus Stevan final.
Mark pun tidak melanjutkan kata-katanya lagi, dia tahu betul kalau Tuannya sudah mengatakan seperti itu, berarti itulah yang akan terjadi.
"Dan juga tolong hubungi dokter Hans, suruh dia ke mansion sekarang juga," sambung Stevan. Stevan menatap Bella dengan penuh intimidasi, membuat Bella menunduk dan tak berani untuk menatap mata pria itu.
"Kenapa kau memaksakan diri?" Tanya Stevan.
"A-apa maksud mu?" Tanya Bella dengan sedikit gugup, dia mengarahkan tatapannya ke jendela mobil supaya matanya tidak bertemu dengan tatapan Stevan yang membuatnya tidak nyaman.
"Kenapa kau memaksa untuk tetap ke kampus padahal keadaan mu sedang sakit? Aku juga dengar kau juga tidak menghabiskan sarapanmu tadi pagi," ucap Stevan bertanya dengan nada sedikit kesal.
Mendengar nada bicara Stevan membuat Bella menoleh pada pria itu. "Aku tidak memaksa, tadi pagi aku masih baik-baik saja, aku harus mengumpulkan tugas dan mengurus berkas KKN ku hari ini dan juga ... "
"Tapi nyatanya kau malah pingsan di kelas bukan? Apa itu yang kau bilang baik-baik saja?" Stevan meninggikan suaranya.
Perkataan Stevan barusan membuat Bella terdiam, dia berusaha mati-matian menahan air matanya yang hampir terjatuh. Ini pertama kalinya Stevan berbicara dengan nada tinggi seperti itu padanya.
"Apa kata orang tua mu nanti kalau mereka tau tentang hal ini, mereka pasti akan menyalahkanku kalau terjadi apa-apa dengan mu, mereka menyuruh ku untuk menjagamu disini dan juga ... "
"Maaf kalau aku merepotkanmu," sela Bella. "Kau tidak perlu menjemputku seperti tadi, itu hanya akan membuang waktumu saja. Aku tidak sepenting itu untuk kau perhatikan," sambung Bella.
Bertepatan dengan mobil yang sudah memasuki garasi mansion, tanpa menunggu lagi, Bella langsung membuka pintu mobil dan berjalan agak cepat ke arah pintu masuk.
"Sial!" umpat Stevan kesal. Kenapa dirinya seperti tak bisa mengendalikan Bella sama sekali. Yang benar saja? Bella hanyalah gadis berumur dua puluh satu tahun dan Stevan selalu kalah jika berhadapan dengan istrinya itu. Bella seperti punya seribu cara untuk mempertahankan alibinya dan endingnya selalu sama, gadis itu dan egonya yang akan menang.