8. Cerita Masa Lalu

1202 Words
"Hari ini aku akan memasak fettucini carbonara kesukaan Stevan," batin perempuan bersurai coklat gelap sambil mendorong troli belanjaannya, sejak tadi dia sibuk memasukkan bahan-bahan yang ia perlukan untuk memasak. "Mmhhhh ... apa lagi ya?" ucapnya lebih kepada dirinya sendiri. Gadis itu takut ada bahan yang ia lupakan. "Aku rasa sudah semua," batinnya. Semua ingatan tentang Stevan membuatnya menaikkan kedua sudut bibirnya, dia mengingat bagaimana dulu reaksi pria itu saat dirinya menyuruhnya untuk mencicipi fettucini carbonara yang dia masak untuk pertama kali dalam hidupnya. Stevan menghabiskan semua fettucini yang ia buat. Membuatnya tak curiga bahwa ada yang tidak beres dengan rasa masakannya itu, dan saat dirinya mencicipinya sendiri, dia terkejut bagaimana bisa Stevan menghabiskan satu porsi fettucini yang rasanya seperti air laut. Dirinya lupa, sudah berapa kali dia memasukkan garam ke masakannya karena terlalu bersemangat? Mengingat hal itu, sampai saat ini dia masih penasaran. Apa yang membuat pria sempurna seperti Stevan bisa tertarik padanya? Jika diingat-ingat, pertemuan pertama mereka tidak bisa dibilang baik-baik saja. Lily masih ingat betul bagaimana dia sangat tidak suka pada tatapan angkuh Stevan saat pria itu tidak sengaja menabraknya dan menjatuhkan kamera yang Lily pegang hingga hancur berantakan. Itu adalah kamera kesayangan Lily yang baru dia beli dengan penuh perjuangan, dia menabung selama enam bulan demi mendapatkan kamera itu. Dirinya kembali teringat tentang kilasan kejadian itu, bagaimana wajah Stevan yang angkuh dengan tatapan matanya yang tajam menatap Lily? "Aku sedang terburu-buru, aku akan menyuruh asistenku untuk mengganti kamera mu yang rusak," ucap Stevan saat itu sambil memperhatikan jam tangan yang dia kenakan. Terlihat menegaskan bahwa pria itu memang sedang diburu waktu. Saat Stevan melangkah pergi, entah keberanian darimana Lily menahan lengan pria itu dan menunjukkan tatapan kesal yang ia tujukan untuk pria itu. "Tak bisakah kau berkata maaf karena sudah menabrakku?" Ucap Lily kala itu, membuat Stevan menautkan kedua alisnya dan menatap tajam ke arah tangan Lily yang ada di lengannya. "Setelah menabrakku kau bahkan tidak berinisiatif untuk minta maaf? Dan kau malah membicarakan masalah ganti rugi? Aku tak menyangka ada orang sombong seperti dirimu." "Maaf," ucap Stevan dengan suara beratnya. Perkataan maaf dari Stevan membuat Lily terdiam, emosi yang ingin dikeluarkannya perlahan menguap begitu saja. "Aku bilang maaf ... itu kan yang kau inginkan? Dan setelah aku mengucapkan maaf, apa kau tidak akan meminta ganti rugi atas kamera mu yang rusak karena ku?" Perkataan Stevan barusan membuat Lily mematung. "Yang benar saja? Aku bahkan harus berhemat selama enam bulan demi kamera itu, dan kau mau lepas tanggung jawab begitu saja? Tak akan kubiarkan," batin Lily. "Tentu saja aku akan tetap meminta ganti rugi, Tuan. tidakkah kau tau berapa harga kamera itu?" Tanya Lily gusar. "Justru karena aku tau berapa harga kamera itu makanya aku berinisiatif untuk menggantinya daripada berbasa basi mengucapkan kata maaf," balas Stevan. "Kau bisa memberikan nomor ponsel mu kepada asisten ku, dia yang akan menghubungi mu nanti, aku permisi," sambung Stevan sambil berlalu pergi dengan di iringi oleh beberapa orang bodyguard yang berjalan di belakangnya. Melihat dari gaya pria itu, Lily yakin bahwa pria itu bukan penipu yang akan kabur tanpa mengganti kamera nya yang rusak bahkan harga kamera itu mungkin tak seberapa dibandingkan jam tangan berwarna kuning emas dengan lambang Rolex yang pria itu kenakan. Dia tak perlu khawatir bukan? Lily pun memberikan nomor ponsel nya kepada pria yang bernama Mark. Pria itu bilang bahwa dia lah yang akan mengurus penggantian kamera itu nantinya. Berselang dua hari setelah kejadian itu, Lily diminta untuk bertemu dengan orang yang akan menyerahkan penggantian kamera nya dengan yang baru karena kamera yang waktu itu rusak sudah tak bisa di perbaiki lagi. Saat itu dia diminta untuk bertemu di sebuah restoran yang cukup mewah. "Kenapa harga makanan disini mahal sekali? Harga steaknya saja sebanding dengan dua karung beras," batin Lily sambil membolak balik buku menu. "Saya pesan air mineral saja, saya sedang menunggu seseorang," ucapnya pada pelayan yang memberikannya buku menu. "Setelah orang itu menyerahkan kamera ku, maka aku akan segera pulang dan makan di rumah saja," ucap Lily dalam hati. Kemudian dia pun sibuk memainkan ponselnya. Sekitar lima belas menit menunggu akhirnya orang yang dia tunggu datang. Sungguh betapa terkejutnya Lily bahwa pria yang menabraknya tempo hari lah yang datang menemuinya. Dia pikir hanya Mark lah yang akan menemuinya, mengingat hal ini tidak terlalu penting sampai pria itu yang harus turun tangan hanya untuk menyerahkan sebuah kamera. "Apa kabar?" Sapa pria itu. "Aku baik, tapi kenapa kau yang datang untuk menemuiku?" Tanya Lily dengan wajah bingung. "Apakah kau mengharapkan orang lain yang datang?" Balas pria itu dengan wajah datarnya. "Tidak, hanya saja aku pikir asisten mu waktu itu yang akan menemuiku disini," jawab Lily dengan sopan. "Maafkan aku telah membuat mu menunggu ... ini kamera mu," ucap pria itu sambil meletakkan box kamera ke atas meja dan mendorongnya ke arah Lily dengan pelan. "Terima kasih." Lily pun mencoba memeriksa kotak kamera itu untuk memastikan apakah tipenya sama dengan miliknya yang rusak. Sungguh Lily dikejutkan lagi saat kamera yang pria itu berikan ternyata memiliki tipe yang jauh berbeda dari miliknya. Kamera yang pria itu berikan harganya lima kali lipat lebih mahal dari kamera Lily yang rusak. "Tapi kamera ini tidak sama dengan milikku yang rusak, tak bisakah kau mengganti yang sama saja?" Tanya Lily sambil mengembalikan kotak kameranya kepada pria itu. "Anggap saja itu sebagai bonus permintaan maaf ku," balas pria itu. "Tapi aku sungguh tidak bisa.. " "Kalau begitu anggap saja itu hadiah perkenalan," sela pria itu. "Perkenalkan namaku Stevan Alexander," sambung pria itu sambil mengulurkan tangannya. "Namaku Lily Arletta Matthew, kau bisa memanggilku Lily saja," balas Lily sambil menjabat tangan Stevan. Sejak saat itu, lambat laun Lily dan Stevan menjadi lebih dekat satu sama lain. Stevan sering menghubungi Lily apabila dia sedang berada di Jakarta. Entah hanya untuk minta di temani makan fettucini carbonara di restoran favoritnya atau hanya berkeliling kota dengan mobilnya dan berakhir dengan menonton film box office. Dan saat kedekatan mereka berjalan lima bulan, Stevan menyatakan cintanya pada Lily dengan memberikannya seribu tangkai mawar merah dan putih di pinggir kolam renang yang sudah di hias sedemikian rupa. Saat itu Lily tak bisa berkata apa-apa selain mengangguk dan memeluk Stevan. Sebenarnya selama ini Lily juga memendam rasa suka kepada pria itu, hanya saja dia merasa tidak pantas untuk berada di samping Stevan, mengingat kedudukan dan status Stevan yang sangat jauh dengan dirinya, Lily cukup tau diri untuk hal ini. Lily berjalan dengan menenteng dua kantong plastik besar belanjaan dengan satu tangannya, sedangkan tangan yang satunya lagi sibuk mencari kunci mobil di dalam tasnya, sampai tiba-tiba seseorang menghentikan langkahnya. "Bisakah kita bicara sebentar?" Tanya pria itu sambil mengambil kantong belanjaan yang ada di tangan Lily, pria itu ingin membantunya membawakan belanjaannya. "Aku pikir aku tidak bisa, aku sedang terburu-buru, maaf," balas Lily. Dia benar-benar tidak ingin berurusan dengan pria yang bernama Edo ini lagi. Sungguh baginya semua sudah cukup. "Sejak dulu kau tau kan aku tak pernah menerima penolakan?" Balas pria itu lagi dan mau tak mau Lily mengikuti apa yang pria ini inginkan. Lily berjalan di belakang pria itu, membuat pria itu menghentikan langkahnya dan menoleh kebelakang. "Jangan berjalan di belakang ku! Kau bukan pengawal." Pria itu menarik tangan Lily untuk berjalan di sampingnya. Lily sadar setelah ini bukanlah hal baik yang akan terjadi padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD