Nala terduduk di sudut kamar, matanya tertuju pada jendela yang memantulkan sinar matahari pagi. Tapi pikirannya melayang jauh, bukan pada pemandangan indah di luar, melainkan pada kekacauan yang berputar di dalam hatinya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak yang tak kunjung reda. Namun, pikirannya terus saja kembali ke wajah Ebas, ke hangatnya perhatian pria itu, dan... ke kecupan di keningnya tadi pagi. "Tidak, Nala. Tidak," gumamnya, memeluk kedua lututnya erat-erat. "Kamu tidak boleh berpikir sejauh itu." Hatinya berdebar, tapi bukan karena cinta. Setidaknya, itulah yang ia yakini. Ini hanyalah kekaguman, sebuah rasa terima kasih yang berlebihan. Bukankah itu wajar, mengingat Ebas telah banyak membantunya keluar dari neraka? Namun, semakin ia mencoba menampik, se

