Kini, Daniel berdiri terpaku di ruang rawat inap Kamila, kepalanya menunduk dalam. Matanya merah dan berkaca-kaca saat menggenggam erat tangan ibunya—tangan yang seakan menjadi satu-satunya pegangan hidupnya saat ini. "Ma ... maafkan aku, Ma. Aku tahu, aku salah." Suaranya gemetar, penuh penyesalan. "Tapi, tolong ... jangan lakukan ini lagi. Jangan pergi diam-diam dari rumah dan jangan buat aku takut seperti ini." Napasnya sesak hanya membayangkan betapa gelisahnya mencari sang ibu ke sana kemari, hampir gila dalam kegelisahan yang tak bertepi. "Untung saja ada orang yang mengabari aku kalau Mama ada di sini." Ia terisak, air matanya jatuh membasahi pipi. Kamila, yang merasa bersalah hingga membuat dadanya sesak, mencoba menenangkan. "Sayang ... maafkan Mama, ya? Mama tahu sudah membuat