Arik berhasil keluar dari dalam kamar hotel, setelah beberapa jam tertahan di dalamnya. Dengan bantuan orang suruhan Albi, lelaki itu berhasil melarikan diri dengan menyamar sebagai salah satu petugas hotel.
Lantas bagaimana keadaan Isyana dan Albi yang masih terjebak di dalam sana?
Isyana hanya terdiam, menatap sambil membaca setiap berita tentang dirinya yang sudah terlanjur beredar luas di jejaring media sosial. Komentar-komentar negatif yang tertuju padanya terus bermunculan, bukan hanya itu saja akun media sosial pribadinya pun tidak luput dari hujatan dan caci maki.
Sosok yang kerap dianggap bidadari baik hati, jauh dari gosip negatif itu kini berubah menjadi hinaan dan hujatan, serta dianggap penyebar aib memalukan..Citra baik yang selama ini dibangun susah payah hancur dalam waktu semalam.
“Mika, lo dimana?” Isyana berhasil menghubungi Mika, asisten pribadinya.
“Lo ada dimana, saat gue seperti ini? Cepet datang, minta Doni bawa oang-orang kesini dan keluarkan gue dari neraka ini cepetan!” Isyana kesal, sebab sejak semalam, sejak wartawan datang menyerang sampai ke kamar hotel, Mika dan Doni tidak bisa dihubungi. Kedua orang yang paling dekat dengannya, bahkan Isyana menganggap keduanya sebagai saudara sendiri itu tiba-tiba menghilang.
“Cari bantuan sekarang! Atau lo gue pecat!”
Ancam Isyana, tahu jika Mika sangat membutuhkan pekerjaan, ancaman seperti itu sangat ampuh dijadikan senjata.
“Pecat saja, karena mulai hari ini lo bukan artis gue lagi.” Jawab Mika dengan nada datar, berbanding terbalik dengan Isyana yang justru dibuat terkejut.
“Apa? Lo masih butuh kerjaan Mika, lo punya dua adik yang masih butuh banyak biaya dan juga,”
“Lo benar. Gue masih butuh pekerjaan, tapi gue nggak akan bekerja sama dengan seorang artis yang berada di ujung kebangkrutan.”
“Apa?! Mika lo,” Isyana mengusap wajahnya dengan kasar. “Lo berani ninggalin gue setelah apa yang gue lakukan selama ini?”
Bukan mengungkit kebaikan yang pernah dilakukannya selama bekerja sama dengan Mika, tapi Isyana tidak pernah itung-itungan soal uang. Mika tetap mendapatkan gaji bulanan sesuai kesepakatan yang telah mereka setujui, tapi di luar gaji pokok, Isyana kerap memberikan banyak bantuan dan ia tidak pernah menganggap hal tersebut sebagai hutang.
“Jangan mengungkit yang sudah berlalu, gue pun banyak berjasa untuk lo dan kelangsungan karir lo. Gue hanya menyelamatkan diri gue, jadi mulai sekarang lo bukan artis gue lagi dan gue bukan asisten lo.”
“Mika,” Sungguh di luar dugaan, saat orang yang begitu dipercaya bisa dengan mudahnya berkhianat.
“Doni pasti akan menuntut lo,”
“Oh iya, lo juga dapat salam dari Doni kata dia, lo bukan artis dia lagi. Kami berdua mengundurkan diri.” Tawa Mika menggema di gendang telinga Isyana, seolah menertawakan kehancurannya dimana ia sudah tidak memiliki apapun lagi.
“Mika! Halo, Mika!” Isyana memanggil nama Mika, saat tidak lagi mendengar suara wanita itu. Ia menatap layar ponselnya, dimana Mika sudah memutus sambungan secara sepihak.
“Mika!” Teriak Isyana, ia pun kembali menghubungi wanita itu. Tapi sayangnya tidak tersambung, bahkan gambar wajah Mika pun tidak lagi terlihat di profilnya. Mika memblokirnya.
“Mika sialan!” Umpat Isyana.
Detik berikutnya Isyana mencoba menghubungi Doni, lelaki kemayu yang menjadi manajernya selama empat tahun. Bukan waktu yang singkat, mereka sudah bekerja sama cukup lama, tapi sepertinya Doni pun melakukan hal serupa, seperti yang dilakukan Mika padanya. Nomor Isyana diblokir.
“Keparatt!” Isyana mengumpat, kedua tangannya bergetar hebat. “Kalian berdua keparatt!” Teriaknya.
Nafas memburu, dimana sesak dan kecewa bercampur aduk menjadi satu. Ia terduduk lemas, mengetahui bahwa orang-orang yang selama ini begitu dipercaya ternyata dengan mudah mengkhianati.
Bahkan tanpa menunggu Isyana keluar dari dalam kamar hotel, dimana ia terjebak di sana bersama seorang lelaki.
“Binatang!” Gumamnya.
Isyana berada di tebing curam, dimana ia tidak punya pilihan lain selain melompat dan ia akan hancur seketika. Tidak ada satu orang pun yang bersedia mengulurkan tangannya, jangankan untuk membantu, menoleh ke arahnya saja tidak akan ada yang mau.
Isyana mulai berpikir bahwa saat ini adalah akhir dari hidupnya. Karir hancur, kerugian akibat banyak brand ternama yang membatalkan kerja sama puj ditanggung sendiri olehnya, dimana ia kan kehilangan uang dalam jumlah yang tidak sedikit, selain itu juga Isyana akan kehilangan kepercayaan dari para penggemar yang sudah ikut andil membesarkan namanya.
“Semuanya sudah berakhir,” Isyana kembali berdiri. “Tidak ada lagi yang tersisa, aku akan menyusulmu Ibu.” Isyana berjalan cepat menuju jendela, lantas membukanya.
Jika di dunia ini ia akan menghadapi banyak masalah dan kenyataan pahit yang akan membuat hidupnya semakin berat, lebih baik mati saja. Mati adalah solusi yang ada dalam pikirannya saat ini.
Gerakannya sangat cepat, dari mulai membuka kaca jendela sampai akhirnya kedua kaki Isyana ada di pinggiran kaca jendela. Hanya tinggal satu langkah lagi, Isyana akan mengakhiri semuanya hari ini. Saat memejamkan mata dan mulai membulatkan tekad, Isyana merasakan tubuhnya ditarik dengan sangat kuat hingga ia merasakan benturan di punggung. Tapi bukan lantai yang menjadi landasannya, melainkan tubuh seseorang.
“Apa kamu sudah gila?!” Suaranya terdengar nyaring di telinga.
“Kamu pikir dengan melompat seperti itu akan menyelesaikan masalah?”
Isyana terdiam, merasakan pegangan erat di pinggangnya. Lupa jika di kamar itu masih ada Albi, terlalu banyak masalah hingga ia melupakan lelaki itu yang sejak tadi terus memperhatikannya.
“Kamu hanya perlu bilang, aku bunuh diri.” Jawab Isyana.
Albi melepaskan pelukannya, memposisikan Isyana terlentang diatas lantai dan ia memegangi kedua tangannya. “Jangan bodoh, aku tidak mau terlibat dalam kematianmu.”
“Tidak akan, kamu tidak akan terlibat. Aku jamin.” Butiran air mata lolos di pelupuk mata Isyana.
“Aku ingin mati,” tangisnya pecah, yang sejak tadi di tahan.
“Tidak! Kamu tidak boleh mati.”
“Aku ingin mati! Apa kamu ingin melihatku lebih sakit lagi? Atau kamu ingin melihatku tertawa sendirian di rumah sakit jiwa?!”
“Tidak!”
“Kalau begitu lepaskan!” Isyana berontak, mencoba melepaskan pegangan tangan Albi di kedua tangannya. “Aku ingin mati! Aku ingin mati!”
Isyana berontak dengan seluruh tenaga yang dimilikinya, tapi Albi pun tidak akan melepaskannya. Membiarkan wanita itu lompat dari kamar hotel hanya akan menimbulkan masalah baru untuknya.
“Diam!” Teriak Albi, yang membuat Isyana akhirnya terdiam.
“Dengarkan aku,” Cengkraman di ke-dua tangan Isyana semakin menguat.
“Kita akan menikah, sebagai solusi pertama kasus yang menimpamu saat ini.”
Tatapan Albi begitu tajam dan serius.
“Kita akan menikah dan aku adalah lelaki berinisial A, yang akan menggantikan Arik. Albi dan Arik. Sama-sama berinisial A.”
“Tapi kamu,”
“Iya, aku tidak mencintaimu begitu juga kamu. Kita sama-sama tidak saling mencintai tapi aku menawarkan bantuan tersebut untuk menutupi kasus saat ini.”
“Tapi,”
“Kita menikah kontrak, hanya satu tahun. Setelah itu kita akan bercerai.”
Isyana terdiam, mencerna tawaran Albi yang begitu mengejutkan.
“Kamu tidak punya pilihan lain, selain setuju.”