7

1961 Words
"Maaf Mas, saya bukan pacar Mas Panji, cuma teman biasa." ucap Aya dengan tersenyum keki. Pria itu pun tersenyum manis dan menyuapkan satu sendok nasi gudeg ke dalam mulutnya. "Bener bukan pacarnya? atau akan jadi pacarnya? namaku Nugroho panggil saja Nunu." ucap Nunu penuh semangat. Cewek cantik dianggurin. Mumpung belum ada yang punya, boleh lah pepet terus nih, gumam Nunu dalam hati. Wibisono pun terlihat terengah-engah dan terburu-buru sambil berlari. "Mana Nu? Bojone Panji?" tanya Wibisono yang terlihat panik dan gugup. Nunu pun hanya memberikan kode dengan dagunya mengarahkan kepada wanita cantik yang tengah berdiri di dekat motor Panji. Wibisono pun langsung tersenyum lega, kepanikannya sementara hilang dan berubah kelegaan mendapati Aya yang datang. "Mas, temennya Mas Panji kan? Ini mau ngembaliin motor, lalu ada perlu sebentar dengan Mas Panji, ada Mas Panjinya?" tanya Aya pelan. "Ada Aya, ayok masuk saja." ucap Wibisono mengajak Aya masuk ke dalam Kost. "Aya disini aja Mas." ucap Aya pelan. Jangan sampai masuk kandang singa jantan, gumam Aya dalam hati. "Baiklah. Tunggu sebentar ya. Panji lagi mandi. Duduk sini Aya, makan gudeg mau?" tanya Wibisono menawarkan kembali. "Gak Mas. Terima kasih." ucap Aya dengan sopan. Aya pun duduk di kursi panjang di teras depan rumah kost itu. Penjual gudeg itu pun tersenyum dan menawarkan kembali dagangannya kepada Aya. "Monggo Mbak, di cobian sekul gudeg sayur krecek. Rempeyek nggih wonten." ucap Ibu tua itu dengan senyuman yang tulus dan berharap dagangannya dibeli. Aya membalas senyuman itu dan menganggukkan kepalanya. Rasanya ingin makan nasi gudeg itu, sungguh menggugah selera makan Aya, yang memang belum sarapan. Apalagi lihat rempeyek kacang kedelai, terlihat renyah dan gurih. Aya pun menelan air liurnya kembali, tatapannya masih tertuju pada bakul sego gudeg. "Sekul gudeg setunggal kaleh rempeyek setunggal." ucap Aya memberanikan diri untuk memesan. Aya bersikap cuek layaknya pembeli, dari pada perutnya berbunyi pasti akan lebih memalukan. Ibu tua penjual gudeg itu pun mengangguk dan tersenyum bahagia. "Baru lihat ada cewek gak jaim lihat makanan?" ucap Nunu nyeletuk. Aya pun tersentak dan tersenyum tipis. "Mas Nunu, Aya belum sarapan, setelah ini ada keperluan." ucap Aya pelan. "Ihhhh namanya Aya tho. Hai Aya, sering main ya, biar ketemu aku." ucap Nunu dengan pede. Nunu adalah mahasiswa semester akhir yang tidak lulus lulus. Sudah empat semester mengambil mata kuliah skripsi tapi belum juga selesai. Jangankan selesai, Bab 1 aja belum ACC, revisi terus, lama lama rasa malasnya membuncah, bisa jadi mahasiswa abadi nih. "Niki Mbak Sekule." ucap Ibu tua itu dengan menyerahkan satu porsi nasi gudeg yang di pincuk menggunakan daun pisang. Sungguh nikmat nasi gudeg ini, rasa gurih dan manisnya bercampur menjadi satu. Rempeyek yang renyah dan empuk pun menambah rasa nikmat tak terkira. Aya pun sangat menikmati makanan itu, hingga melupakan tujuannya ke rumah kost itu. "Aya?" panggil Panji pelan. Aya pun menoleh ke arah suara lembut yang sangat dia kenal. "Mas Panji? maaf Mas, Aya sarapan dulu, habis Anter ibu ke Pasar Beringharjo." ucap Aya pelan dan segera mengabiskan makanannya. Panji memberikan satu gelas teh manis yang hangat kepada Aya. Panji sudah ada sejak tadi saat Aya memesan gudeg tersebut. Dengan sigap, Panji pun membuatkan minuman untuk Aya. Aya pun tersenyum, dan membuang sampah ke keranjang sampah disamping tempat duduknya. "Ambil Aya, buat kamu." ucap Panji pelan. "Makasih Mas Panji." ucap Aya pelan. "Berapa Bu, biar saya yang bayar, sekalian yang tadi." ucap Panji kepada ibu tua penjual gudeg, sambil memberikan uang pecahan lima puluh ribuan kepada ibu tua itu. "Sama punya Mbak ini jadi tiga puluh ribu Mas Panji." ucap Ibu tua itu pelan. Sepertinya sudah sangat akrab dan mengenal. Mungkin di karena hampir setiap hari ibu ini berjualan kesini. "Ini kembaliannya Mas Panji. Cocok Mas Panji sama Mbak ini. Langgeng ya Mas?" ucap Ibu tua itu pelan dan tersenyum kepada keduanya secara bergantian lalu berpamitan untuk melanjutkan jualannya. "Aamiin Bu... Doanya saja ya." ucap Panji tersenyum manis. Aya hanya terlihat tersenyum kecut mendegar penuturan Panji yang terlalu percaya diri. "Mas Panji, Aya gak suka Mas Panji bilang begitu." ucap Aya sedikit kecewa dan ketus. "Maafkan Mas Panji, Aya. Bukan maksud apa-apa, jodoh kan kita gak ada yang tahu." ucap Panji pelan. "Iya Mas. Lain kali jangan begitu. Kita juga baru kenal." ucap Aya pelan. "Motornya masih di tambal. Tungguin ya." ucap Panji pelan. "Ini ada Kue buatan Ibu Aya. Terima kasih katanya." ucap Aya sopan dengan memberikan bingkisan mika itu kepada Panji. "Makasih Aya." ucap Panji tersenyum manis. "Iya Mas Panji." ucap Aya lembut. "Kamu jadi pemotretan? Aku juga bisa fotografi." tanya Panji kemudian. Untuk menghilangkan keheningan diantara mereka. "Oh.. Ya Mas Panji." ucap Aya dengan takjub. "Kalau mau lihat kamar kost aku penuh foto. Aku suka foto obyek yang cantik, keren, aneh atau kadang cari spot foto yang unik." ucap Panji pelan. "Wah... hebat sekali kamu Mas Panji." ucap Aya dengan takjub. "Mau lihat gak? hasil foto aku?" tanya Panji pelan. "Gak Mas Panji. Ini Kost Pria. Aya gak mau orang menilai jelek dan buruk terhadap Aya." ucap Aya pelan. "Assalamualaikum.... Mas Panji, hari ini kita latihan karate gak?" tanya seorang anak laki-laki pelan. "Waalaikumsalam... Nanti sore kan? jadi donk. Sekarang Mas Panji ada tamu, nanti sore kita kumpul jam tiga sore untuk latihan karate." ucap Panji pelan. Kedua anak itu pun pergi setelah berpamitan kepada Panji. "Mas Panji pelatih Karate?" tanya Aya pelan. "Iya Aya. Mengisi waktu luang untuk hal hal yang bermanfaat." ucap Panji pelan. Aya tersenyum simpul, dari awal memang sudah merasa kagum dengan ketampanan Panji, belum lagi dengan hobinya yang sama dengan Aya, ditambah bisa karate. Pria idaman, gumam Aya dalam hati. Pesona Panji bukanlah main main. Banyak wanita terperosok akan pesonanya. "Kenapa senyum senyum begitu?" ucap Panji lembut. Astaghfirullah... Ketahuan Mas Panji kan, gumam Aya dalam hatinya. "Gak Mas Panji. Motornya masih lama?" tanya Aya pelan, menutupi rasa kekinya. "Kirain senyum kenapa? Aku kan jadi curiga." ucap Panji mengulum senyum. "Mas Panji!!!!!" panggil seseorang dengan suara keras dan lantang. Aya dan Panji pun menoleh ke arah asal suara yang memanggilnya. "Mas Panji.... " ucap seseorang itu mengulang panggilannya. Orang tersebut berjalan menuju arah Aya dan Panji duduk. "Friska?? sama siapa kesini?" tanya Panji pelan. "Sama temen, tapi temen pulang dulu mau ketemu ibunya." ucap Friska pelan. "Kenalin ini Aya, obyek untuk fotografi aku." ucap Panji pelan. "Aku Friska, tunangannya Panji." ucap Friska dengan sombong. "Friska!!! dia tamuku, kamu tidak boleh bersikap seperti itu." ucap Panji dengan tegas. "Aya, dia Friska. Di pacar aku." ucap Panji dengan by lembut dan jujur. "Aku Aya. Hanya penjual Angkringan di alun alun." ucap Aya pelan dan merendah. "Ihhhh pantas, lihat saja merek bajunya pun enggak banget. Gak mungkin juga Panji mau sama kamu!!" ucap Friska kasar. "Cukup Friska. Masuk, ada Wibisono di dalam." ucap Panji menitah. "Aku ingin disini!!! kenapa?" ucap Friska ketus. "Mas Panji, Aya pulang aja dulu. Ini kunci motornya. Tadi Aya kena tilang, tolong minggu depan pinjam motornya lagi dan STNK-nya buat ambil SIM Aya." ucap Aya pelan. "Baiklah Aya. Pakai saja motorku saja dulu. Motormu sepertinya belum selesai di tambal." ucap Panji pelan. Aya hanya mengganggukkan kepalanya tanda setuju. Tubuhnya seakan ingin segera pergi meninggalkan Rumah Kost Panji. Aya tidak ingin ada kesalahpahaman antar dia dan Panji. Biar bagaimana pun Panji sudah memiliki pacar yaitu Friska. Betul banget tuh cewek dapet bodyguard ganteng gitu, gumam Aya dalam hati. "Aya pulang dulu Mas Panji dan Mbak Friska. Permisi." ucap Aya dengan sopan. Aya pun menyalakan motor Panji dan pergi meninggalkan Kost Panji. Rencananya saat ini adalah ke rumah Firman sahabatnya. Rumah yang cukup besar dan mewah, terasa sepi dan kosong. Setiap hari penampakannya memang seperti ini. Sepi dan sunyi, ini yang membuat Aya setiap kali menolak di bermain ke rumah Firman. "Assalamualaikum.... " ucap Aya dari pagar depan rumah Firman. "Waalaikumsalam.... " ucap salah seorang perempuan asisten rumah tangga Firman. "Mbak Tutik... Firman kemana?" sapa Aya pelan kepada Mbak Tutik. "Astaghfirullah... Mbak Aya. Kok cantik pake banget sih. Masuk dulu Mbak Aya, ada pesan dari Mas Firman." ucap Mbak Tuti pelan dan membuka pintu pagar yang terkunci. "Kok sepi Mbak Tuti pada kemana?" tanya Aya pelan. Mbak Tuti hanya terdiam dan membukakan pintu rumah Firman, lalu mempersilahkan Aya masuk ke dalam rumah besar itu. Di samping ruang tamu ada ruang studio Foto, biasanya Aya melakukan pemotretan disana bersama Papanya Firman. Di ruang bagian depan ada salon milik mamanya Firman. Lebih tepatnya tempat untuk menyimpan barang-barang dan baju untuk disewakan, karena Salonnya ada di Pusat Kota, dan di kelola oleh asisten kepercayaannya. "Kok sepi banget Mbak?" tanya Aya pelan. "Ini ada surat dari Mas Firman, dan ini kunci kamar Mas Firman. Mbak Aya di suruh masuk ke dalam kamar Mas Firman." ucap Mbak Tutik pelan. "Terima kasih Mbak Tutik, Aya ke kamar Firman dulu." ucap Aya pelan. "Mbak Aya mau minum apa?" tanya Mbak Tuti pelan. "Apa aja Mbak Tutik, letakkan di meja tamu aja ya." ucap Aya pelan. Aya pun menaiki anak tangga ke lantai dua. Kamar Firman ada di lantai dua, kamarnya cukup rapi dan besar. Aya pun memutar anak kunci dan membuka pintu kamar itu. Pemandangan yang indah dan menakjubkan, berbeda dengan terakhir kali Aya masuk ke kamar Firman untuk menumpang mengganti bajunya. Kamar Firman kini di cat berwarna Pink Muda dengan alur garis putih seperti zebra. Di dindingnya tertempel foto Aya, dari sejak SD hingga saat ini SMA. Koleksi foto yang tidak pernah di duga oleh Aya. Satu per satu Foto itu di sentuh dan di usap. Hasil foto yang bagus dan jernih membuat foto itu semakin bagus dan hidup. Aya pun duduk di tepi ranjang Firman, kasur yang begitu empuk dan nyaman di duduki. Berbeda dengan kasur di rumahnya, tapi itulah nikmatnya. Di bukanya surat dari Firman. Surat berwarna Pink dan wangi harum semerbak. *Teruntuk Fadila Tersayang.... Maafkan aku, sahabat kecilku. Mungkin mulai saat ini kita akan jarang bertemu. Gapailah mimpimu sahabatku. Aku selalu mendukungmu. Ini bukan akhir atau perpisahan. Bunda sakit keras, dan hanya di Jakarta pengobatannya lengkap, mungkin setelah ini akan dirujuk untuk pengobatan ke Rumah Sakit di Singapura. Sahabatku, jadilah wanita yang kuat dan mandiri, jangan pernah lupakan aku sahabatmu. Dari Sahabatmu.... Firman*. Satu tetesan air mata pun turun di pipi Aya. Baru kali ini Aya merasakan kehilangan sahabat kecilnya itu. Sebenarnya sudah beberapa kali dia pergi untuk beberapa waktu, namun kali ini berbeda seperti akan pergi lama dan tidak kembali. Aya pun bangkit berdiri, berjalan pada satu lemari yang berbentuk Hello Kitty, Aya membuka pintu lemari itu. Kedua matanya pun membola melihat isi di dalamnya yang begitu tersusun rapi dan cantik. Semua barang pemberian Aya tersimpan rapi di dalam lemari itu. Ada surat, jam tangan, kaos kaki, hingga botol minum sejak SD pun masih tersimpan rapat. "Ada apa denganmu Firman, rasanya aneh, kepergianmu seperti bukan karena Bunda mu yang sakit, ada apa sebenarnya??." gumam Aya dalam hati. Aya menutup kembali pintu lemari itu dan kembali duduk di tepi ranjang itu. Wangi parfum khas Firman masih melekat di kamar ini, sepertinya dia belum lama pergi." gumam Aya dalam hati kembali. Aya pun melihat tumpukan buku yang asing, seperti bukan buku pelajaran. Aya pun menghampiri meja belajar Firman dan membuka buku buku itu. Di baca judul buku itu tentang pengobatan suatu penyakit. Ini buku apa, gumam Aya pelan. "Fadila........ " panggil seseorang dari pintu kamar Firman. Aya segera menutup kembali buku buku yang dibukanya dan melipat surat tadi kemudian menoleh ke arah suara yang tidak asing itu. Senyumnya langsung terlihat sumringah dan sisa air matanya pun di usap sembarang dan berlari ke arah asal suara. Pelukannya seperti memendam suatu rasa sayang teramat dalam dan memberikan kenyamanan tersendiri. "Firman.... kenapa? jangan tinggalkan Aya." ucap Aya terisak dan menatap wajah Firman dengan sendu. Firman hanya menggelengkan kepalanya dan memeluk Aya kembali ke d**a bidangnya. Persahabatan yang dipupuk sejak dulu, berubah perasaan yang lebih mendalam seiring kedewasaan mereka. Tanpa harus mengungkapkan, tanpa harus jujur dan tetap saling memiliki satu sama lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD