Pagi di Jakarta Selatan terasa lebih lembut dari biasanya. Hujan semalam meninggalkan aroma tanah basah yang samar-samar masuk lewat jendela kamar. Di apartemen mungil mereka, suara air dari teko listrik dan aroma kopi hitam mengisi udara.
Rafka baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk melingkar di leher. Ia tampak lebih santai dari biasanya — tidak dengan jas kerja dan wajah serius — hanya kaus abu-abu dan celana pendek. Tapi matanya… masih tajam, seperti biasa.
Sementara itu, Anggita duduk di sofa, sibuk menggulung rambutnya yang masih acak-acakan sambil menonton acara pagi di TV. Daster biru muda yang ia pakai tampak sedikit kebesaran, membuatnya terlihat makin manja.
“Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Rafka sambil mengambil gelas dari rak.
“Enggak, aku cuma lihat iklan s**u bayi. Lucu aja bayi gembulnya,” jawab Anggita tanpa menoleh. “Eh tapi… kayaknya kamu cocok deh kalau gendong bayi.”
Rafka tersedak kopi. “Hah? Baru juga seminggu nikah, udah ngomong bayi?”
Anggita menoleh cepat, cemberut. “Lho, aku cuma bilang kamu cocok, bukan pengen punya sekarang juga.”
“Kalimatmu ambigu banget, Anggita,” goda Rafka sambil duduk di sebelahnya. “Aku deg-degan dengarnya.”
Anggita mengangkat alis, tapi pipinya merona. “Ih, dasar. Aku kan cuma bercanda.”
Rafka tertawa kecil, lalu mendekat sedikit. “Ngomong-ngomong, kamu udah sarapan belum?”
“Belum. Aku nunggu kamu.”
“Bagus,” katanya. Ia berdiri, lalu berjalan ke dapur kecil dan kembali dengan dua piring roti panggang dan telur mata sapi. “Chef suamimu hari ini cuma bisa masak ini. Semoga nggak kecewa.”
Anggita menatapnya takjub, lalu terkekeh. “Wow, sarapan eksklusif Rafka Wijaya? Ini kalau fans kamu tahu, mereka bakal iri setengah mati sama aku.”
“Jangan dilebih-lebihin juga, aku ini cuma chef buat kamu dan keluargamu,” sahut Rafka sambil menahan tawa.
Mereka makan sambil berbincang ringan tentang kerjaan, tentang tetangga yang suka karaoke, sampai rencana belanja bulanan. Semua terasa hangat, sederhana, tapi membuat d**a Anggita penuh.
Setelah piring-piring dibereskan, Rafka duduk lagi di sofa. Kali ini, ia terlihat agak canggung. Ia menatap layar ponsel sebentar, lalu menoleh ke arah istrinya.
“Git,” katanya pelan.
“Hmm?”
“Aku… mau kasih ini.”
Ia menggeser sedikit, membuka dompet digital di ponselnya, lalu mentransfer sesuatu. Ponsel Anggita berbunyi ting! — notifikasi saldo masuk.
Anggita melirik, lalu terbelalak. “Raf! Ini serius? Kamu transfer segini banyak buat aku? Nolnya banyak poll.”
Rafka tersenyum kecil. “Itu nafkah bulan ini. Nggak seberapa, tapi… ya, itu kewajiban aku sebagai suami.”
Anggita masih bengong. “Nggak seberapa? Kalau istri orang lain denger, kamu bakal didemo, deh. Lagian aku belum ngelakuin apa-apa, belum masak tiap hari juga, belum nyuci baju kamu bahkan—”
Rafka menatapnya lembut. “Git, ini bukan soal kamu ‘harus ngelakuin apa’. Ini tentang tanggung jawab. Aku kerja, kamu rumah tangga — dan nafkah itu hak kamu. Jadi, terimalah dengan bahagia.”
Anggita menggigit bibir bawah, senyum mulai muncul. “Tapi… aku jadi ngerasa kayak anak kos yang dikirimin uang jajan sama ortu.”
“Hah?” Rafka tertawa keras. “Jadi aku bapak kosmu dong?”
“Ih, jangan begitu juga!” serunya sambil memukul lengannya pelan. “Tapi ya, rasanya aneh aja. Aku belum pernah dikasih uang kayak gini sama cowok… biasanya nyari sendiri.”
“Yaudah, mulai sekarang biasain. Tiap bulan aku bakal transfer, tanggalnya tetap,” ucap Rafka dengan nada resmi pura-pura.
Anggita memutar bola matanya. “Aduh, kayak HRD aja ngomongnya.”
Rafka terkekeh, lalu menggenggam tangannya. “Serius, Git. Aku nggak pengin kamu merasa bergantung, tapi aku pengin kamu tahu kalau aku tanggung jawab sama kamu. Mau kamu kerja atau nggak, kamu tetap istri aku, dan aku pengen bahagiain kamu sebisaku.”
Kata-kata itu membuat d**a Anggita hangat. Matanya memerah sedikit, tapi ia pura-pura sibuk memainkan jari. “Kamu ngomong gitu karena merasa bersalah ya gara-gara semalam kamu lupa matiin alarm dan aku kebangun tiga kali?”
Rafka tertawa lagi, memegangi perutnya. “Astaga, jadi masih diungkit? Padahal aku udah minta maaf sampai bikin sarapan loh.”
Anggita pura-pura manyun, tapi matanya berbinar. “Ya, maaf diterima sih… tapi mungkin aku butuh kompensasi tambahan.”
“Waduh, ini istri kok kayak pelanggan yang nuntut cashback.”
“Yaudah, kasih bonus dong. Nafkah plus kasih sayang lebih,” katanya dengan nada menggoda, lalu tertawa kecil.
Rafka mendekat, menatapnya dalam-dalam. “Sayang lebih?”
Wajah Anggita langsung memerah. “Ih, jangan ditatap gitu!”
“Tapi kamu yang minta.”
Mereka sama-sama tertawa, suasana berubah jadi hangat dan konyol dalam waktu bersamaan.
Rafka mengeluarkan sesuatu dari sakunya — amplop kecil berwarna krem. “Oh iya, hampir lupa. Ini bukan uang sih, tapi aku pengen kasih juga.”
Anggita membuka amplop itu pelan-pelan. Di dalamnya ada kartu kecil bertuliskan tulisan tangan:
Untuk istri kecilku, yang wajahnya paling kusuka lihat tiap pagi. Nafkah pertamaku bukan cuma uang, tapi juga janji — buat selalu berusaha bikin kamu tertawa setiap hari.
Anggita menatap tulisan itu lama, matanya berkaca-kaca. “Raf…”
“Aku tahu aku bukan orang paling romantis,” katanya pelan, “tapi aku mau kamu tahu kalau aku serius. Ini cuma awal.”
Anggita menatapnya lama, lalu mendadak tertawa kecil sambil menyeka air mata. “Kamu serius nulis ini? Tulisan tangan kamu jelek banget, Raf.”
“Heh!” Rafka langsung protes, tapi ikut tertawa. “Aku niat loh nulis itu. Pake pulpen, nggak ngetik.”
“Itu sih kelihatan banget. Huruf ‘p’ sama ‘q’-nya aja kebalik,” ujar Anggita sambil terkikik.
Rafka pura-pura kesal. “Yaudah, mulai bulan depan aku kirim nafkahnya lewat surat cinta aja sekalian.”
“Wah, aku tunggu tuh.”
“Beneran?”
“Beneran.”
Mereka tertawa bersamaan lagi lalu, suasana berubah tenang. Anggita bersandar di bahu Rafka, menatap jendela yang mulai diterangi cahaya siang.
“Aku nggak minta banyak, Raf,” bisiknya. “Aku cuma pengen rumah tangga kita selalu kayak gini. Nggak perlu mewah, asal ada kamu yang bikin aku ketawa tiap pagi.”
Rafka menunduk, mengecup puncak kepalanya pelan. “Aku pengen kamu tetap kayak gini. Nggak berubah, tetap cerewet, tetap jujur, tetap ngeluh kalau aku lupa matiin alarm. Karena itu semua yang bikin rumah ini hidup.”
Anggita tersenyum. “Jadi… kamu nggak keberatan kalau aku jadi istri bawel selamanya?”
“Asal tiap bawel kamu peluk aku setelahnya, aku nggak keberatan.”
“Ih, dasar Rafka gombal,” katanya, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.
Mereka tertawa lagi, hangat, ringan, tanpa beban.
Sebuah pagi sederhana, tapi penuh cinta.
Di tengah semua tawa itu, Anggita tahu satu hal kalau uang bisa habis, tapi perhatian seperti itu… akan selalu jadi nafkah paling berharga yang bisa ia terima. Apalagi waktu dulu pacaran sama Fahmi, jangan kan dapat uang, yang ada, dia yang ngirim uang. Dih, dasar Mokondo!!! Anggita sebal kalau ingat mantan nggak bermodal itu sekarang.