Part-3

845 Words
Saka masih belum menjawab pertanyaan papanya. "Jawab, Saka!" "Maaf, Pa, Ma, Om, Tante, izinkan Saka ngomong empat mata sama Salsa," bukannya menjawab, Saka justru meminta izin pada keempat orang yang ada di sana untuk bicara dengan Salsa. "Mau kamu apakan anak saya? Mau kamu suruh gugurkan?" "Tidak, Om. Saya bukan orang sejahat itu. Saya hanya ingin bertanya sesuatu sama Salsa." "Baiklah, silakan. Tapi awas, kalau sampai kamu menyakiti putri saya!" ancam ayah Salsa. "Iya, Om." Saka meminta Salsa untuk mengikutinya. Ruang keluarga yang ia pilih untuk bicara empat mata dengan Salsa. Di sana, keempat orang tua yang berada di ruang tamu, bisa melihat apa yang Saka lakukan nantinya. Saka duduk di sofa yang menghadap televisi. "Duduklah!" perintah Saka. Namun, karena takut Salsa masih berdiri di tempatnya. "Aku bilang duduk!" ucap Saka lebih keras. Akhirnya Salsa pun menuruti. "Apa maksud kamu? Apa maksud kamu memfitnahku?!" "Maafin aku, Saka ... maaf ...," lirih Salsa. "Maaf? Kamu bilang maaf? Kenapa sih kamu tega banget sama aku, kurang apa aku selama ini, hah?!" Mencoba meredam emosinya, Saka berusaha untuk menjaga agar nada suaranya tidak meninggi. "Maaf ...." Hanya kata itu yang dapat Salsa ucapkan. "Siapa laki-laki itu? Aku tahu, kamu tidak amnesia kalau aku belum pernah sekalipun menyentuhmu. Jadi tolong, jangan fitnah aku seperti ini!" "Maafkan aku ... aku tidak bermaksud untuk nyeret kamu ke dalam masalahku. Tapi ... tapi-" "Tapi apa?!" potong Saka. "Reno menghilang. Aku nggak bisa menghubunginya." "Reno? Jadi Reno yang melakukannya? Sudah lama kalian berhubungan di belakangku?" cerca Saka. "Maafkan aku ... sudah dari enam bulan yang lalu." Salsa terus saja menunduk. Matanya tak berani menatap mata Saka yang penuh dengan kobaran amarah. "Ck. Tega kamu! Kamu tahu, sudah lama aku ingin putus dari kamu. Sudah lama aku ingin bilang ke kamu, kalau aku nggak pernah cinta sama kamu. Tapi selalu aku urungkan. Karena apa?! Karena aku nggak mau menyakiti kamu. Tapi yang kamu lakukan sebaliknya." "Jadi, jadi kamu nggak pernah cinta sama aku?" "Bukan saatnya mempermasalahkan perasaanku. Nyatanya selama ini aku selalu berusaha memperhatikanmu. Selalu berusaha menjadi pacar yang baik. Tapi apa balasannya?" Saka makin tidak bisa menahan emosi. "Maafkan aku ...." "Lalu sekarang, kamu tetap tidak akan kasih tahu orang tua kamu, kalau bukan aku yang harus bertanggung jawab?" "Tolong bantu aku, Ka ... bantu aku ...." "Bantu kamu dengan menikahi kamu, terus nama baik aku jadi musnah begitu saja di mata orang-orang?!" "Please, aku mohon ... jangan bicara apa-apa dulu sebelum aku bisa menemukan Reno," mohon Salsa. "Jika Reno tetap tidak muncul, kamu akan tetap menjadikanku tumbal?!" "Nggak, Saka ... aku janji." "Aku pegang omongan kamu!" Setelah itu, mereka kembali menemui orang tua mereka. Dari hasil perundingan, mereka akan menikah dua minggu lagi. Tentu saja Saka berharap, Reno akan muncul sebelum dua minggi itu berakhir. Ia bertekad, jika nanti Reno muncul, ia akan mengungkapakn perasaannya pada Naura. Apa pun nanti respons Naura, Saka akan menghadapinya. *** Satu minggu berlalu. Namun, tidak ada tanda-tanda kemunculan Reno. Hal itu membuat Saka uring-uringan. Hatinya mulai bimbang, apakah jika nanti Reno tak kunjung muncul, ia akan tega membiarkan Salsa-orang yang lima tahun lebih berstatus menjadi kekasihnya-menanggung masalahnya sendiri? Atau, lagi-lagi dia harus mengorbankan perasaannya lagi demi Salsa? *** Naura belum tahu apa yang menimpa Saka. Saka juga sama sekali tidak ingin menceritakannya. Hari ini, Saka menemui Naura setelah satu minggu lebih ia memilih menghindar. "Kemana aja lo? Baru muncul?" tanya Naura saat melihat Saka berdiri di ambang pintu ruangannya. "Stres gue." "Stres? Kenapa? Satu minggu lebih ngilang, nomor nggak aktif, nongol-nongol bawa muka kusut gitu. Jadi tunangan kan lo?" "Gue nggak mau bahas itu. Temenin gue, yuk!" "Lo mah gitu, datang ke gue kalo lagi butuh doang." "Siapa tahu, ini terakhir kalinya gue ngerecokin hidup lo," ucap Saka. Tidak ada tanda-tanda bercanda di wajahnya. Suasana tiba-tiba menjadi sendu. "Lo ngomong apaan, sih? Gue beresin ini dulu. Kapan sih gue nolak lo." "Kalau gue nyatain cinta sama lo, lo nolak nggak?" Naura hanya menghela napas. Ia takut kejadian minggu lalu terulang lagi. "Kok cuma hela napas doang?!" "Udah ayo buruan pergi! Sebelum gue berubah pikiran." Naura berjalan di depan Saka. Saka mengikutinya. "Pakai mobil lo aja, ya ... gue lagi males nyetir," ucap Saka begitu sampai di parkiran. Naura hanya menanggapi dengan berjalan menuju mobilnya. Saka meminta Naura agar Naura membawanya ke danau. Danau di mana mereka suka menghilangkan penat di sana. Sesampainya di danau, mereka duduk di bangku permanen yang biasa mereka duduki. Hampir setengah jam Saka hanya diam, sedangkan Naura memilih memainkan ponselnya untuk menghilangkan kejenuhannya. "Nau ...." "Hem?" "Kalau gue nikah lusa, gimana menurut lo?" Naura menghentikan aktivitas jempolnya yang sedang menari di atas keyboard ponselnya. "Lusa?" Saka mengangguk pelan. "Itu terserah kamu. Sebagai sahabat, aku cuma bisa mendoakan yang terbaik buat kamu." Sekuat tenaga Naura menahan air matanya agar tidak jatuh. Saka menatap mata Naura dalam. Air matanya pun sudah menggenang di pelupuk matanya. Tanpa aba-aba, Saka membawa Naura ke dalam pelukannya. Air matanya akhirnya jatuh membasahi rambut Naura. Tanpa permisi, Saka menciumi kepala Naura berulang kali. Di balik punggung Saka, air mata Naura juga sudah berjatuhan membasahi kaus yang Saka kenakan. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD