“Ayah… Amel tidak diterima di agensi mana pun!” isak Amelia sambil menunduk. Air matanya mengalir deras, bahunya bergetar menahan tangis. “Ini pasti ulah Sebastian! Hu… hu… hu!” Yanto hanya bisa menghela napas panjang. Ia menatap wajah putrinya yang kusut, dengan mata sembab dan riasan yang berantakan. Di dalam hati, ia merasa iba, namun juga lelah menghadapi keluhan yang sama berulang-ulang. “Amel, sudah… jangan menangis terus,” ucap Yanto dengan suara pelan tapi tegas. “Kalau memang dunia hiburan begitu sulit, kenapa tidak kamu coba bekerja di perusahaan saja? Ayah bisa bantu mencarikan posisi yang bagus...” “Tidak bisa, Ayah!” potong Amelia cepat, suaranya meninggi disertai tatapan tajam. “Itu cita-cita Amel sejak kecil! Amel ingin jadi artis terkenal, bukan pegawai kantoran!” Ia men

